Banyak yang bertanya mengapa banyak orang, terutama kaum urban, banyak yang tertarik untuk belajar di majelis Wahabi daripada di majelis Aswaja? Jawaban paling sederhana adalah karena ketika belajar pada wahabi, maka seseorang akan mendapat prestis secara instan.
Ketika ada orang yang begitu awam dalam agama, namun muncul kesadaran untuk belajar agama, maka dia punya dua opsi: Pertama adalah menempuh jalan instan di mana dia hanya perlu menghadiri beberapa kali kajian lalu diberi gelar dan label yang prestisius. Kedua adalah jalan terjal yang mengharuskannya menempuh masa yang panjang serta kurikulum rumit, itu pun pada akhirnya tetap dibilang bukan-siapa-siapa.
Jalan pertama tersebut adalah jalan wahabi. Jadi semisal seseorang baru "hijrah" ke jalan yang benar lalu mengikuti kajian mereka, maka hal pertama yang ditanamkan adalah agar tampil beda "sesuai sunnah". Dengan tampil beda, maka muncullah distingsi dari masyarakat dan dari distingsi muncullah rasa bangga dan eksklusif. Kemudian bila misalnya dia yang masih awam bertanya tentang bid'ah, maka dia akan diberi nukilan hadis "kullu bid'atin dlalalah" (semua bid'ah sesat) serta 3-4 hadis tentang celaan terhadap bid'ah yang mungkin ditambah beberapa atsar dari para sahabat dan beberapa pendapat ulama yang senada. Ini semua hanya memerlukan satu kali tatap muka, paling lama dua kali tatap muka maka sudah selesai dengan pendalamannya.
Dari pertemuan 1-2 kali tatap muka itu, dia sudah mendapat gelar sebagai pengikut sunnah dan merasa siap menyanggah orang luar yang dianggap sebagai ahli bid'ah. Meskipun dia diberi tahu bahwa Imam Syafi'i membagi bid'ah menjadi dua, yang baik dan buruk, dia akan merasa sudah melampaui Imam Syafi'i dan menyangka Imam Syafi'i salah memahami konsep bid'ah sesuai sunnah. Imam Syafi'i hanya manusia yang tidak makshum, katanya seolah pemahaman ustadznya sendiri sudah makshum. Ketika dia diberi bukti bahwa para ulama dari empat mazhab, dari satu generasi ke generasi yang lain membagi bid'ah menjadi dua juga, dia akan mengatakan bahwa mazhab empat semuanya dalilnya lemah sedangkan yang kuat hanya dalilnya sendiri. Merasa dirinya elit dan agung melampaui mujtahid, itulah kebanggaan yang ditanamkan secara instan dalam waktu yang super singkat. Wajar bila banyak yang tertarik.
Berbeda dengan itu, bila seorang awam yang baru tumbuh semangat beragamanya datang ke majelis kajian Aswaja, maka dia akan dihadapkan dengan kurikulum yang panjang dan rumit. Bila misalnya dia bertanya tentang konsep bid'ah, maka dia akan diajari untuk memahami hadis tentang bid'ah dari sudut pandang bahasa, dari sudut pandang sejarah pemahaman sahabat, tabi'in dan para mujtahid, dia juga harus menguasai ushul fikih sebelum dia diperbolehkan melakukan istinbat dari hadis sehingga tahu mana ungkapan yang umum dan yang khusus, dalil mana saja yang mentakhsis hadis "kullu bid'ah", dan dia harus tahu ilmu alat yang cukup untuk sampai ke sana. Ini semua memerlukan waktu yang sangat panjang.
Meskipun pada akhirnya si penuntut ilmu tadi sudah memahami bagaimana itu bid'ah menurut pandangan ulama disertai seluruh perbedaan pendapat di dalamnya, dia tetap tidak mendapat gelar dan prestis apa pun. Dia hanya tetap disebut penuntut ilmu. Ketika selesai satu tahap, dia akan disodori tahap berikutnya dan dia akan terus dianggap biasa saja, bukan siapa pun di depan para mujtahid yang agung itu. Akhirnya mereka yang belajar dalam kurikulum aswaja jarang yang mengaku alim meskipun kenyataannya sangat alim, malu untuk mengklaim mengikuti sunnah sebab dia tahu ada ribuan sunnah yang tidak sempat dia lakukan, dan nyaris mustahil mereka mengklaim sudah berijtihad dan punya hasil ijtihad yang kualitasnya melampaui para imam mazhab.
Dengan kata lain, bila digambarkan seperti jenjang pendidikan formal, majelis Wahabi siap memberikan ijazah S3 bagi muridnya yang masih baru masuk TK. Sedangkan dalam majelis aswaja, yang baru masuk TK akan diberi tahu bahwa mereka harus lama di TK baru boleh lalu lanjut ke SD lalu SMP lalu SMA lalu S1 lalu S2 dan barulah menjadap ijazah S3. Tentu majelis Wahabi lebih menarik sebab yang masih TK merasa berhak berkomentar dan memberi penilaian dalam obrolan para doktor.
Di sisi lain, persyaratan jenjang yang panjang menimbulkan efek samping dalam pengajian umum Aswaja yang sifatnya ceremonial. Dalam mimbar ceramah aswaja, jarang para ulamanya membahas kajian berat sebab mereka tahu audiennya belum levelnya mendengar pembahasan itu. Akhirnya yang ditampilkan hanya pembahasan ringan yang diberi bumbu-bumbu candaan dan contoh-contoh lucu. Misalnya membahas bid'ah, maka kecil kemungkinan akan keluar kajian yang serius tentang itu dari berbagai sudut pandang sebab baru muqaddimah saja pasti waktunya habis. Dipaksa dengan bahasa yang singkat pun belum tentu paham. Akhirnya terpaksa yang disajikan hanya definisi yang mudah dan contoh sederhana yang kadang lucu.
Efeknya, beberapa orang yang kritis akan melihat pengajian di mimbar aswaja kurang berbobot secara ilmiah. Tapi memang mimbar seremonial bukan tempat belajar serius sehingga salah tempat bila mengharap kajian serius di sana. Ini seperti Enstein yang diundang untuk memberi pidato Sains pada wisuda anak SD, pasti yang dibahas adalah sains sederhana level elementary. Ternyata, ada anak SD yang kritis menyimpulkan bahwa ternyata Einstein tidak sehebat itu dan kurang berbobot. Semoga bermanfaat.
=======
Update:
Dari beberapa komen, faktornya ditambah:
3. Pengajian aswaja sering kurang menarik penyajiannya bagi kaum milenial dan urban
4. Di Majelis aswaja kadang ada yang cerita aneh-aneh, ngaku dirinya wali, ketemu malaikat dsb.
Oleh: Gus Abdul Wahab Ahmad