Jika anda ingin menjadi penulis, silahkan klik ini. Load...

Khatib Harus Sensitif dan Kondusif


Hari ini saya khutbah di Masjid RSI Jemursari, Surabaya. Materi tentang Saleh Profesional alias profesionalisme bekerja. Durasi 10 menit. Termasuk khutbah kedua. Mengapa kudu 10 menit? Sebab, jamaahnya adalah para pekerja profesional di RSI ini. Waktu sangat berharga bagi mereka dan pasien. Singkat Das Des. Langsung poin.

Alasan kedua kenapa kudu singkat? Saya trauma. Waktu anak kedua opname di RSI, 2016, saya ikut jumatan di sini. Khotibnya senior, salah satu pengurus utama MUI Jatim. Tapi khutbahnya nglantur, cerita kalau dirinya habis dari Hongkong, bla bla. Lebih 20 menit tanpa teks. Persis pidato. Jamaah gelisah. Tersirat dari wajahnya. Tolah-toleh bingung mau ngapain. Protes nggak berani, tapi kalau begini, jamaah juga nggak tahu sampai kapan. Termasuk saya. Di sisi lain, waktu istirahat juga terbatas. Untunglah setelah lebih 20 menit beliau mengakhiri khutbahnya.

Tadi, Alhamdulillah, sudah ada keterangan tulisan "Khutbah Maksimal 10 Menit" di Masjid RSI ini. Entah sejak kapan. Tulisan tertempel di pengimaman. Satu lagi di samping mimbar. Pengingat yang betul-betul pengingat.

Khatib Jumat yang nggak sensitif soal kondisi jamaah pernah saya jumpai pula di Masjid Syuhada, depan terminal Lumajang. Khutbahnya nglantur, lebih dari 25 menit. Ini khutbah pertama lho ya. Jemaah sudah gelisah, tapi nggak ada yang berani interupsi, hanya nggrundel di dalam hati, termasuk saya. 

Jamaah, yang sebagian musafir pesinggah, lantaran mau melanjutkan perjalanan luar kota, dan sedang menunggu jadwal bis, khawatir ketinggalan, cuma bisa mengangkat dagu melihat khatib yang keasyikan, tapi suara protes hanya nyangkut di tenggorokan. Nggak berani protes. Akhirnya, ada pahlawan juga. Sosok tidak berpeci, berkaos dan bercelana jins, memutuskan interupsi: Ayo pakyai, segera diselesaikan khutbahnya, jangan muter-muter!

Teriakan lancang, tapi bikin jamaah lega. Kaget tapi diiringi senyum. Akhirnya, sang khatib beristighfar, menyudahi khutbah.

Jadi, bagi siapapun khatibnya, kudu ingat, dalam shalat Jum'at, yang diutamakan khutbah pendek, shalatnya yang panjang. Disunnahkan pake Surat A'la di rakaat awal dan Al-Ghasyiyah di rakaat kedua. 

Sidang Jumat yang dimuliakan Allah dan senantiasa terlihat tamvan memesona ….

Tiba-tiba saya ingat, di awal kekuasaan Dinasti Umayyah, khotbah Jumat menjadi ajang pelecehan atas pribadi dan kemuliaan Sayidina Ali Karramallahu Wajhah. Beginilah kalau politik digeret ke wilayah agama. Sakralitas menjadi banal.

Kelak, karma berlaku. Di akhir-akhir kekuasaan trah Umayyah, muncul sosok misterius yang mengibarkan panji hitam dengan sorak-sorai bergemuruh. Dia memperkenalkan diri sebagai Muslim ibn Muslim Abu Muslim (seorang Islam yang merupakan anak dari orang Islam dan bapak orang Islam). Kita mengenalnya sebagai Abu Muslim al-Khurasani: propagandis ulung nan karismatik.

Dia menjadikan khotbah Jumat sebagai ajang propaganda antipemerintah Umayyah. Orasi politiknya yang memukau, membuat Abu Abbas Assafah, khalifah awal Dinasti Abbasiyah, terpesona dan mereka pun menjalin koalisi. Duet maut yang meruntuhkan anak-cucu Umayyah.

Malang tak dapat ditolak, pada akhirnya, nasib Abu Muslim tak kalah tragis. Suatu hari, Abu Ja’far al-Mansur, pengganti Abu Abbas, mengundang Abu Muslim ke istana, mempersilakannya masuk ke ruangan pribadi, lalu memerintahkan pengawal menutup pintu dan mengeksekusinya. Jenazah Abu Muslim dibuang ke sungai. Menyedihkan.

Maka jangan sekali-sekali mempermainkan khotbah. Ini yang hendak saya sampaikan, wahai sahabat penikmat tahu bulat.

Sebelum saya akhiri khutbah Jumat, eh tulisan ini, saya ingatkan kembali problem klasik yang berlaku selama berabad-abad di kalangan umat Islam: dalam setiap khotbah Jumat, jamaah model kura-kura selalu ada dan berlipat ganda. Mereka duduk, mendengarkan khotbah, kesirep, dan kepala mereka hilang jika diamati dari belakang. Ajaibnya, kepalanya nongol kembali saat iqamah berkumandang. Persis kepala kura-kura.

Saya sendiri adalah loyalis kelompok kura-kura ini. Mereka adalah antek dari rasa kantuk. Kopi mana, kopi?

Oleh: Gus Rijal Mumazziq Z