Problem rumahtangga bermula, antara lain, ketika suami malas-malasan bekerja, bahkan emoh mencari nafkah. Hanya nganggur dan dia menikmati status penganggurannya. Tidak punya inisiatif dan semangat golek duwit. Ini fatal.
Masalah lain, suami beralasan fokus urusan ukhrowi. Ibadah melulu. Tampak keren ini, walaupun hakikatnya mblegedes. Kalau punya sawah banyak, ternak melimpah, atau usaha yang dijalankan orang lain sih no problem. Tapi ada banyak kita jumpai, ekonomi nggak terurus akhirnya ukhrowi dijadikan alasan. Lari dari ketidakbecusan dan kemalasan bekerja.
Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang cuma keliling dari makam satu Wali ke makam lainnya. Pengen cari ketenangan hidup, juga keberkahan, katanya. Dia sudah berkeluarga. Sumpek nggak punya kerjaan. Akhirnya ya ziarah melulu. Lhah, iki piye to? Sudah nggak bekerja, ninggalin keluarga pula.
"Ora usah aneh-aneh mas, pulang saja, kerja apa gitu, yang penting halal, daripada ziarah melulu, pengen dapat rezeki min haitsu la yahtasib, tapi nggak bekerja ya sama saja pengen dapat mangga ranum tapi nggak mau cari galah. Nggak usah cita-cita jadi Wali, cukup jadi kepala keluarga yang bertanggung jawab saja sudah keren. Wong wali-wali zaman dulu juga bekerja, punya profesi. Nggak cuma duduk-duduk dzikir saja. Ayo muleh mas (Ayo pulang mas). Nyoh tak wehi sangu nggo muleh (ini tak kasih bekal uang buat pulang).Tapi tak anter sampe terminal, sampai dapat bus. Tak bayari."
Itu nasehat pedas saya ke seseorang yang saya jumpai ziarah di Makam Sunan Ampel. Gregeten. Saya tak punya hak mencampuri urusan keluarganya, tapi beberapa kali ziarah kok ketemu orang ini, juga akhirnya ngobrol dengannya, saya jadi tahu kalau wajah melas-nya dijadikan modus. Jual iba demi rupiah. Ada banyak orang yang jualan cerita melas demi fulus. Menikmati penganggurannya dengan sepenuh jiwa.
****
Di sisi lain, masalah datang ketika istri tidak qonaah. Suami sudah bekerja dengan baik, punya penghasilan, tapi istri menuntut lebih dari kondisi yang ada, dan tidak mampu memenej keuangan bersama-sama belahan jiwanya. Syukur jika dia punya inisiatif menambah penghasilan dengan berjualan secara daring, misalnya. Yang saya jumpai, suami sudah bekerja dengan baik, punya penghasilan memadai dan tambahan kerja lain, tapi istri menuntut lebih. Akhirnya BPJS (Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita). Penghasilan dihabiskan buat kebutuhan tersier. Kalau sudah bermanja begini, duit berapapun bakal ludes, dan rata-rata buah kebutuhan yang nggak penting. Ambrol, Jum!!
Ayolah, rumahtangga ini tanggungjawab berdua. Keuangan keluarga bakal ambruk jika salah satunya tidak bertanggungjawab.
Masing-masing punya wilayah pertanggungjawaban dan rasa saling melengkapi dan mendukung. Juga sadar diri akan kondisi. Kalau nggak, ya rontoklah bangunan rumahtangga...
Ayo, saling menguatkan. Tawāshow bil haqqi wa tawāshow bisshobr, adalah dua kunci menuju rumahtangga yang mashlahah.
Oleh: Ust. Rijal Mumazziq Z.