Suatu ketika ada kawan bercerita tentang tabiatnya dan istrinya yang tidak pernah memarahi anak-anaknya.
Saya memang tidak menangkap ada aroma kebanggaan dari ceritanya. Syukurlah! Tapi saya menyayangkan mengapa mereka tidak pernah memarahi anak. Kalau anak bisa diramahi oleh orangtuanya, maka anak juga harus bisa dimarahi.
Marah kepada anak, entah didasari emosi atau tidak, itu penting. Anak-anak harus tahu dan harus mendapatkan pengalaman paripurna sebagai manusia. Mereka harus tahu bahwa di dunia ini ada marah, takut, sedih, senang, dendam, rindu, dan cinta. Mereka harus mengalami semua itu dalam kehidupan ini. Dan, keluarga adalah padepokan pertama untuk mengenal semua perangkat batin kemanusiaan itu.
Anak-anak yang tidak pernah dimarahi oleh orang tuanya, akan tidak mengalami pengalaman batin yang lengkap sebagai manusia. Memarahi anak itu adalah kewajiban orangtua. Terutama ibu. Kalau ibu memarahi anak, anak tidak akan sakit hati. Ibu, dalam khazanah tasawuf Jawa, memiliki tiga jagad (tribhuwana). Ia, di dalam rumah tangga, adalah Durga Mahesasuramardhini atau sosok penggembleng Ganesha. Marahnya seorang ibu pada anak, akan mendatangkan pengetahuan (kaweruh) terutama bagi si anak. Dengan demikian, marahnya seorang ibu saja sudah begitu dahsyat, apalagi doanya.
Beda dengan kalau bapak memarahi anak, biasanya anak akan menyimpan sakit. Karena itu, jika bapak memarahi anak, apalagi dengan dilatari emosi, ia harus segera mendoakan anaknya. Lalu dianjurkan agar ia menebus (kifarat) kemarahan itu dengan menyenangkan hati si anak. Bisa dengan membelikan sesuatu yang disenangi anaknya atau membelikan makan-makanan kecil untuk anaknya ketika ia pulang dari tempat kerja.
Kalau ibu memarahi anak, bapak tidak boleh membela anak. Nanti anaknya bisa menyepelekan ibunya. Ia merasa dibela oleh bapak. Dari sana, ia akan menganggap bahwa ibunya "salah". Bila bapak tidak setuju pada marah seorang ibu pada anak, ia harus menginterupsi istrinya itu tidak di depan anak. Misalnya dengan mengajak istrinya mengobrol sambil mengelus-elus dadanya, maksud saya, biar istrinya itu terang hati.
Begitulah takdir bapak. Lelaki memang ditugaskan untuk menguatkan (qawwam) perempuannya. Agar sebagai ibu, para perempuan itu tidak goyah untuk menggembleng dan menyembur anak.
Wallahu a'lam.
By YM Arafat