Keindahan transaksi
yang terjadi saat dimana orang lain menilainya dengan negative atau keburukan
itu, membikin banyak asumsi fantastis bagi jiwa ini. Madu yang kucecap oleh
kesehatan akal pikiran saat itu adalah linuhung; berketuhanan. Karena tidak
mungkin lisan dan ketulusan peristiwa saat itu tidak dibekali kebahagiaan.
Kalau anda
membikin suasana dari buruk menjadi peristiwa keindahaan, maka saat itu kesadaran
mental anda, ada. Sebaliknya, ketika setiap mengahapi realita tidak direspon
dengan kebahagiaan dan ketulusan, maka akan mudah gugus mental dan martabat anda.
Ditengah menapaki
perjalanan sunyi, pasca #KCMaret edisi Maret 2019 di Taman Ismail Marzuki
Cikini Jakpus. Kami serombongan sempat tadzabur alam Jakarta yang dipenuhi asap
mesin industry kapitalisme dan candu keangkuhan berkendara. Menuju ke Pelabuhan
Merak, dan sesampainya di lantai tiga pukul 19:20 WIB dikapal kearah Bakauheni
itu, kami sempat mendapat hiburan malam orgen tunggal.
Bukan keget, tetapi
tiba-tiba tiga penyayi ala caffe mirip panturanan dengan pakaian artis kekinian
itu menghampiri kami setelah kami serombongan selesai makan nasi bungkus yang
kami beli di WM Padang di Pelabukan Merak.
Ayok to mas,
nyayi bareng….
Kami sadari lenggak-lenggoknya
mengaharap perhatian yang berujung saweran. Mereka mencoba-coba menawarkan agak
kami request lagu, atau bernyanyi bersama mereka tetapi tidak langsung kemudian
kami tanggapi. Mirip seperti jual mahal he, batin kami; kalo geratis yo mau. Dua
penyayi terus mendekati sampai duduk tepat di kursi sebalah kami.
“Ini, buat
sampean,” selembar uang kertas berwarna hijau itu saya ulurkan ke salah satu
diantara dua “bidadari atas kapal lantai tida”. Dengan penuh pasrah dan
harap-harap cemas; sifat akal manusiawi kami menuju uang yang apakah nanti akan
dibelikan minum-minuman keras, atau dibelanjakan narkoba, atau benar-benar mereka
gunakan untuk kepentingan anak-anaknya. “Dan yang selembar ini, saya minta
tolong dimasukkan ke kotak infaq di masjid ya.” Sembari saya tatap dengan ketulusan
yang sungguh-sungguh.
Sedikit gugup dan
tercengang mereka, setelah saya ulurkan dua lebar uang pasca selesai bernyanyi.
Mungkin orang-orang disekitar kami merasa puas atau berfikir lain, atau justru
mereka pikir kami sudah asyik-asyikkan lalu membayarnya. Bagi kami, dunia harus
kami nikmati, tetapi benar-benar jangan sampai kami diperbudak oleh dinia. Itu minimal
yang kami ingat dan aktualkan dari yang sudah Mbah Nun disampaikan semalam.