MENJAWAB PROBLEMATIKA USTADZ, KIAI, MADRASAH DAN MASJID MENERIMA ZAKAT - Trimurjo Region
Jika anda ingin menjadi penulis, silahkan klik ini. Load...

MENJAWAB PROBLEMATIKA USTADZ, KIAI, MADRASAH DAN MASJID MENERIMA ZAKAT


Disarikan dari mutiara kalam Syaikhina KH. Muhammad Najih Maimoen حفظه الله

Bismillahirrahmanirrahim, AlhamduliLlahi Rabbil ‘alamin, kaum Muslimin di Indonesia telah diberikan kenikmatan dapat melaksanakan ibadah puasa dan lainnya di bulan Ramadlan tahun 2022 ini. Meski harga-harga komoditas pokok masyarakat sejak masuk awal Ramadlan hingga Idul Fitri kali ini seperti minyak goreng, BBM, beras, sayuran, dan masih banyak lagi kian meroket, namun tidak menyurutkan semangat dan antusias masyarakat dalam meramaikan bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut.

Serba-serbi Ramadlan dan Idul Fitri, termasuk rangkaian ibadah yang dilakukan oleh kaum Muslimin setelah melaksanakan puasa sebulan penuh di bulan Ramadlan adalah melaksanakan zakat fitrah. Telah diketahui secara umum bahwa zakat fitrah hukumnya wajib bagi seluruh orang Islam yang memiliki kelebihan harta bagi dirinya dan orang yang dia wajib nafkahi pada hari dan malam raya Idul Fitri. Namun yang masih menjadi perbincangan publik adalah siapa saja mustahiq yang berhak menerima zakat fitrah tersebut. 

Syaikh Muhammad Najih Maimoen ikut memberikan atas pertanyaan klasik apakah didalam zakat fitrah ada mustahiq dari jalur fi sabilillah yang memasukkan para kiai, ustadz, masjid, mushola, madrasah, dsb. Beliau menjawab bahwa fi sabilillah tidak ada dalam zakat fitrah (badan) namun adanya pada zakat harta (mal).

Tentang makna fi sabilillah sendiri ada beberapa pendapat dalam Madzhab Empat. Dalam madzab Syafi’i dalam zakat mal fi sabilillah dimaknai sebagai al-ghuzah al-mutathawwi’un yakni orang-orang yang angkat senjata secara sukarela dan tidak mendapatkan jatah dalam fai’ atau uang negara Islam.

أسنى المطالب في شرح روض الطالب - ث - (1 / 398)

الصِّنْفُ السَّابِع في سَبِيلِ اللَّهِ وفي نُسْخَةٍ سَبِيلُ اللَّهِ بِتَرْكِ في وَهُمْ الْغُزَاةُ الْمُتَطَوِّعُونَ أَيْ الَّذِينَ لَا رِزْقَ لهم في الْفَيْءِ فَيُعْطَوْنَ وَإِنْ أَيْسَرُوا وفي نُسْخَةٍ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ لِعُمُومِ الْآيَةِ وَإِعَانَةً لهم على الْغَزْوِ


الحاوى الكبير ـ الماوردى - دار الفكر - (8 / 1294)

 والضرب الثاني : هم أهل الصدقات وهم الذين لا أرزاق لهم إن أرادوا غزوا وإن لم يريدوا قعدوا وقد سماهم الشافعي أعرابا فهم غزاة أهل الصدقات يجوز أن يعطوا منها مع الغنى والفقر .

Dalam mazhab Malik ada pendapat bahwa fi sabilillah dimaknai sebagai orang-orang yang mengajar agama dan tidak mendapatkan jatah dari negara atau mendapatkannya namun sedikit sekali semisal setahun sekali atau dua kali seperti di negara kita Indonesia.


شرح خليل للخرشي - (6 / 371)

( قَوْلُهُ : الْفَقِيهُ ) أَيْ : يُدَرِّسُ ، أَوْ يُفْتِي أَيْ : إذَا كَانُوا يُعْطَوْنَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ وَإِلَّا فَيُعْطَوْنَ ، وَيُعْطَى الْفَقِيهُ وَلَوْ كَثُرَتْ كُتُبُهُ حَيْثُ كَانَ فِيهِ قَابِلِيَّةٌ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ قَابِلِيَّةٌ لَمْ يُعْطَ إلَّا أَنْ تَكُونَ كُتُبُهُ عَلَى قَدْرِ فَهْمِهِ وَقَوْلُهُ ، وَالْإِمَامُ أَيْ : إمَامُ مَسْجِدٍ أَيْ : حَيْثُ أُجْرِيَ رِزْقُهُمْ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ وَإِلَّا أُعْطُوهَا كَمَا فِي عب

Dalam mazhab Ahmad ada sebagian ulama mengatakan bahwa fi sabilillah dimaknai sebagai munqathi’ul hajji atau orang yang terputus hajinya karena tidak punya uang misalnya orang yang sudah mendaftar haji namun belum jadi berangkat karena tidak dapat melunasi. Jadi hanya itu aja.

كشاف القناع - ث - (2 / 284)

 ( والحج من السبيل نصا ) روي عن ابن عباس وابن عمر لما روى أبو داود أن رجلا جعل ناقة في سبيل الله فأرادت امرأته الحج فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم اركبيها فإن الحج من سبيل الله ( فيأخذ إن كان فقيرا ) من الزكاة ( ما يؤدي به فرض حج أو ) فرض ( عمرة أو يستعين به فيه ) أي في فرض الحج والعمرة لأنه يحتاج إلى اسقاط الفرض.


Adapun zakat mal untuk pembangunan masjid, pondok, rumah sakit, sekolah, dsb  tidak diperbolehkan.

إعانة الطالبين - (2 / 192)

 ( قوله وعمارة نحو مسجد ) أي إنشاء أو ترميما فإن استدان لذلك أعطى ولا يجوز دفع الزكاة لبناء مسجد ابتداء كما في الكردي وسيذكره الشارح قريبا


شرح مختصر خليل - ث - (2 / 219)

( ص ) لا سور ومركب ( ش ) يعني أن الزكاة لا يجوز عمل سور منها ولا مركب على المشهور ومثل السور والمركب : الفقيه والقاضي والإمام قال في الجلاب ولا يجوز صرف شيء من الصدقات في غير الوجوه المبينة : من عمارة المساجد أو بناء القناطر أو تكفين الموتى أو فك الأسارى أو غير ذلك من المصالح

Adapun hukum kebolehan tersebut hanya disebutkan dalam beberapa kitab tafsir seperti dalam Tafsir al-Munir karangan Syaikh Nawawi Banten yang menukil dari al-Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin al-Razi, bahwa sebagian mufasir meriwayatkan pendapat dari imam al-Qaffal bahwa yang dimaksud fi sabilillah adalah subulul khair (kepentingan baik). Akan tetapi kutipan ini tidak mu’tamad (kredibel) sama sekali karena Imam Qaffal itu madzhabnya Syafi’i dan sebagian mufasir yang meriwayatkan pendapat Qaffal tersebut tidak diketahui siapa sehingga qaul tersebut sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dan qoul ini yang digunakan oleh orang-orang modern seperti Muhammadiyah, Rasyid Ridla, dan Musthafa Imarah dalam ta'liqan kitab Jawahir al-Bukhari, jadi pendapat ini murni dari pribadi Musthafa Imarah bukan dari Imam al-Qustullani sebagaimana dipersepsikan. 

* Namun dalam benak pribadi Syaikhina Muhammad Najih Maimoen –bukan sebagai fatwa– bahwa di zaman modern ini dimana umat Islam tidak punya negara Islam, maka sudah seharusnya kita membantu pembangunan masjid-masjid yang terbengkalai, apalagi guru-guru agama yang tidak mendapat jatah dari pemerintah, namun tidak boleh dari zakat fitrah. Bisa melalui zakat mal namun pakai hilah  hukum sebagaimana keterangan guru kami Abuya Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki bahwa panitia pembangunan masjid itu distatuskan sebagai gharimin, karena menanggung urusan hutang untuk pembangunan masjid, atau diposisikan sebagai faqir-miskin, namun pendistribusiannya harus benar-benar untuk kepentingan masjid, bukan masuk ke kantong pribadi*

Perlu diketahui, madzhahibul Arba'ah berbeda pendapat terkait mashraf (tempat pendistribusian) zakat Fitrah. Golongan Syafi'iyah, Hanafiah, dan Hanabilah sepakat bahwa zakat fitrah juga diberikan kepada selain faqir miskin dari golongan yang delapan. Menurut malikiyyah dan riwayat lain dari hanabilah; zakat fitrah hanya boleh diberikan kepada faqir miskin saja, tidak boleh diberikan kepada selain faqir miskin.

Dalam Kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah juz 23 halaman 344 :

مصارف زكاة الفطر :

اختلف الفقهاء فيمن تصرف إليه زكاة الفطر على ثلاثة آراء : ذهب الجمهور إلى جواز قسمتها على الأصناف الثمانية التي تصرف فيها زكاة المال

وذهب المالكية وهي رواية عن أحمد واختارها ابن تيمية إلى تخصيص صرفها بالفقراء والمساكين.

وذهب الشافعية إلى وجوب قسمتها على الأصناف الثمانية ، أو من وجد منهم


مجلة البحوث الإسلامية - (62 / 337)المبحث التاسع : مصرف زكاة الفطر

اختلف الفقهاء في مصرف زكاة الفطر . فقال الحنفية والشافعية والحنابلة في القول الراجح : إن مصرفها مصرف زكاة المال ، فيجوز صرفها إلى الأصناف الثمانية المذكورين في قوله تعالى : { إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ } (1)

بل إن الشافعية أوجبوا قسمتها على الأصناف الثمانية إذا وجدوا ، وإذا لم يوجدوا فعلى الموجود منهم ،

ولم يشترط الحنفية والحنابلة استيعاب جميع الأصناف أو الموجود منهموإنما جوزوا صرفها حتى إلى صنف واحد من تلك الأصناف الثمانية

وقال المالكية والحنابلة في القول الآخر : إن زكاة الفطر خاصة بالفقراء والمساكين ، وليست عامة في جميع مصارف زكاة المال ، فلا يجوز دفعها إلى غير الفقراء والمساكين.

Tentang amil dalam zakat fitrah, Syaikhina Abah Najih juga menegaskan bahwa dalam konteks keindonesiaan, para pemungut dan penyalur zakat fitrah lebih tepatnya disebut wakil bukan amil, sebab Amil Zakat resmi adanya itu dalam zakat mal, bukan zakat fitrah, sebagaimana BAZNAS atau Lembaga sejenis yang diangkat oleh pemerintah, akan tetapi amil berhak menerima zakat pun harus disesuaikan dengan beban kerjanya (ujrah misil) dan tidak boleh lebih dari itu. Jadi, ustadz, atau kiai yang menerima zakat mestinya langsung disalurkan ke fuqara-masakin. Karena memang Kiai dan ustadz tersebut statusnya hanya wakil saja jika keduanya kaya, namun kalau keduanya  faqir-miskin, maka ia bisa berstatus wakil sekaligus mustahiq, Wallahu A'lam.

Ribath Darusshohihain