
Perbincangan tentang kedatangan Imam Mahdi terus dibahas, segala gejala mengenai isyarat zaman akhir terus diperdengungkan. Dijaman ini kelakuan banyak orang seperti siswa pandir yang gagal mengambil intisari halaman demi halaman sunatullah, hukum kejadian Allah. Ibaratnya belajar membaca hidup baru juga sampai diseperempat buku, lalu sudah tergesa-gesa ingin mengetahui isi buku dihalaman akhir.
Padahal Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin tidak mengajarkan begitu. Dunia dan peradaban berputar dan terus melaju, dan sebagai orang beriman hendaknya juga terus meng-up date jurus-jurus ilmunya agar tetap dinamis dan ikutan melaju. Kehendak pelajaran Islam adalah kehendak yang dinamis, seperti gerakan semesta raya yang kaya dengan gaya dan perubahan, menuju garis finish, ketentuan Allah yang statis, yang tetap, namun merangkum dan melingkupi segala zaman yang ada.
Karena bisa jadi kita akan mendapatkan hikmah yang berguna bagi keselamatan hidup kita di dunia dan akhirat ini, justru dari guru yang tak disangka-sangka. Bukan dari sekadar ilmu titen berkat segenap pengalaman-pengalaman yang pernah terjadi dan dialami manusia, namun mungkin juga dari waliyullah tak terkenal yang tiba-tiba saja hadir dikehidupan kita.
Kisah-kisah berikut ini barangkali akan bisa jadi sedikit gambaran, bahwa keutamaan ilmu itu tidak sekadar didapat dengan mencari, namun yang lebih utama adalah kesiapan diri dalam menerima sebagian dari petunjuk-Nya.
Pada suatu malam, ketika Ibrahim tidur di kamar istananya, mendadak langit-langit kamar berderak-derak seolah ada seseorang sedang berjalan di atasnya. Ibrahim pun terjaga dan berteriak, “Siapakah itu?“
“Seorang sahabat. Untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atap ini.“ terdengar sebuah jawaban dari atas sana.
“Goblok! Engkau hendak mencari unta di atas atap, mana mungkin dia sampai di sana,“ sergah Ibrahim menahan kekesalan.
“Wahai manusia yang lalai, apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutra dan tidur di atas ranjang emas?“ jawab pemilik suara misterius yang tak lain adalah Nabi Khidr AS, penuh dengan sindiran.
Kata-kata itu ternyata mampu menggetarkan hati Ibrahim. Dia amat gelisah sehingga malam itu tak mampu meneruskan tidurnya lagi.
Ketika hari telah siang, Ibrahim menuju keruang pertemuan dan duduk di singgasananya dengan pikiran yang galau memikirkan sensasi yang dialaminya semalam. Sementara itu, para menteri telah berdiri di tempatnya masing-masing, dan para hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. Semuanya siap menunggu titah sang Raja.
Ketika acara pertemuan akan dimulai, tiba-tiba, seorang lelaki berwajah amat menakutkan masuk kedalam ruangan. Wajah si lelaki yang teramat menakutkan telah membuat tak ada seorang pun yang berani menegurnya, apalagi menanyakan nama dan maksud kedatangannya. Lidah mereka mendadak kelu. Sementara, dengan langkah yang tenang, lelaki itu melangkah menuju ke singgasana Raja.
“Apakah yang engkau inginkan?“ tanya Ibrahim dengan memberanikan diri.
“Aku baru saja sampai di persinggahan ini,“ jawab lelaki itu.“
Ini bukan tempat persinggahan para kalifah. Ini adalah istanaku. Apakah engkau sudah gila!“
Hardik ibrahim yang sudah habis kesabarannya.
“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?“ tanya lelaki itu.
“Ayahku!“ jawab ibrahim, memendam kekesalan.
“Dan sebelum Ayahmu?“
“Kakekku!“
“Dan sebelum kakekmu?“
“Ayah dari kakekku!“
“Dan sebelum dia?“
“Kakek dari kakekku!“
“Kemanakah mereka sekarang ini?“
“Mereka telah tiada, wafat.“
“Jika demikian, bukankah ini sebuah persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?“
Setelah berkata demikian, lelaki yang sesungguhnya adalah Khidr itu langsung menghilang. Demikianlah, dengan seizin Allah, Khidr adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim. Dan dikemudian hari, Ibrahim menjadi salah seorang tokoh sufi terkenal, dan perbuatannya banyak menghiasi kitab tasawuf.
Subhanallah.....
Kisah lain seorang tua berwajah cerah berseri-seri, mengenakan jubah yang anggun, pada suatu hari melewati gerbang Banu Syaibah dan menghampiri Abu Bakar Al-Khattani yang sedang berdiri dengan kepala menunduk. Setelah saling mengucapkan salam, orang tua itu berkata,“Mengapakah engkau tidak pergi ke maqam Ibrahim? Seorang guru besar telah datang dan dia sedang menyampaikan hadits-hadits yang mulia. Marilah kita ke sana untuk mendengarkan kata-katanya.”
“Siapakah perawi dari hadits-hadits yang dikhutbahkannya itu?” tanya Kattani.
“Dari abdulah bin ma’mar, dari Zuhri, dari Abu Hurairah dan dari Muhammad,“ jawab orang tua itu.
“Sebuah rangkaian panjang. Segala sesuatu yang dia sampaikan melalui rangkaian panjang para perawi, dan kita dapat mendengar langsung khutbahnya di tempat tersebut dari tempat ini,“ kata Kattani.
“Melalui siapakah engkau mendengar?“ tanya lelaki tua itu.
“Hatiku menyampaikannya kepadaku, langsung dari Allah!“ jawab Kattani.
“Apakah kata-katamu dapat dibuktikan?“ tanya orang tua itu lagi.
“Inilah
buktinya. Hatiku mengatakan bahwa engkau adalah Khidr AS.”
Orang tua
itu tersenyum.
“Selama ini aku mengira tak ada sehabat Allah yang tidak kukenal. Namun ternyata engkau, Abu Bakar Kattani, tidak kukenal tetapi engkau mengenalku. Maka, sadarlah aku masih ada sahabat-sahabat Allah yang tidak kukenal namun mereka mengenalku.‘ kata Khidr AS.
Subhanallah.....
Cerita lain lagi pada suatu waktu, ketika masih kanak-kanak, Muhammad bin Ali Tarmidzi (yang kemudian dikenal dengan nama Al Hakim) bersama dengan dua anak lainnya bertekad akan melakukan pengembaraan guna menutut ilmu. Ketika akan berangkat, ibunya pun nampak sangat bersedih.
“Wahai buah hati ibu, aku seorang perempuan yang sudah tua dan lemah. Bila ananda pergi, tak ada seorang pun yang ibunda miliki di dunia ini. Selama ini ananda tempat ibunda bersandar. Kepada siapakah ananda menitipkan ibunda yang sebatang kara dan lemah ini?” kata sang bunda dengan berurai air mata.
Kata-kata itu menggoyahkan Tarmidzi. Dia membatalkan niatnya, sementara kedua sahabatnya tetap berangkat mengembara untuk mencari Ilmu.
Satu hari, Tarmidzi duduk di sebuah pemakaman sambil meratapi nasibnya. ”Di sinilah aku. Tiada seorang pun yang peduli kepadaku yang bodoh ini, sedang kedua sahabatku itu, nanti akan kembali sebagai orang-orang yang terpelajar dan berpendidikan tinggi,“ keluhnya lagi.
Tiba-tiba di
hadapan Tarmidzi muncul seorang tua dengan wajah berseri-seri. Dia menegur
Tarmidzi, “Nak, mangapakah engkau menangis sampai sedih ini?
Tarmidzi
lalu menceritakan segala persoalan yang tengah dihadapinya.