Oleh: Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 16 Desember 2013)
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Kolom Analisis Pikiran Rakyat, 16 Desember 2013)
Sebenarnya,
publisitas politik itu merupakan hal lumrah dan sangat biasa dilakukan melalui
beragam cara. Dalam perspektif komunikasi politik, paling tidak ada empat jenis
publisitas. Pertama, publisitas yang memanfaatkan latar alamiah kejadian biasa
(pure publicity),
misalnya mengucapkan selamat hari raya keagamaan lewat spanduk yang dilakukan
di berbagai ruas jalan oleh mereka yang memiliki kepentingan elektoral.
Tujuannya jelas yakni popularitas dan elektabilitas kandidat. Kedua, publisitas
yang memanfaatkan kejadian luar biasa (tie-in publicity), misalnya partai atau capres yang membuat posko di tempat
kejadian musibah besar dan
memiliki potensi nilai berita. Modus yang biasa dipakai adalah menyelam sambil
minum air, membantu orang-orang terkena musibah sambil meraup popularitas.
Ketiga, publisitas yang memanfaatkan kegiatan yang dimiliki oleh pihak ketiga (free
ride publicity) misalnya
kandidat memanfaatkan seminar, peresmian gedung, pembukaan acara dan lain-lain untuk mengelola popularitasnya. Keempat,
publisitas yang membeli “ruang” di media (paid publicity) untuk menanamkan kesadaran atas sebuah brand kandidat misalnya lewat advertorial, spot, dan segmen acara.
Hal
yang menonjol saat ini adalah bermunculannya publisitas pejabat publik di media
massa yang sebagian besar diantaranya memiliki potensi pelanggaran etika.
Namun, dari sekian banyak publisitas para politisi yang harus kita kritisi
adalah keterlibatan pejabat publik dalam sejumlah iklan komersial, iklan
layanan masyarakat maupun sinetron. Sebut saja sebagian nama pejabat itu ada
Gita Wirjawan (Menteri Perdagangan), Dahlan Iskan (Menteri Perhubungan),
Marzuki Ali (Ketua DPR) dan juga ada Wakil Gubernur (Wagub) Jawa Barat Deddy
Mizwar. Selain itu, ada juga sejumlah nama anggota DPR dari kalangan selebriti
yang sudah kembali aktif di panggung hiburan padahal masih tersemat label wakil
rakyat dengan seabrek tugas yang harusnya menjadi prioritas mereka.
Jika
dibuat tipologi, pejabat publik yang masih beriklan itu bisa kita bedakan
menjadi dua. Pertama, campaigning maker artinya pejabat ini sedang menyiapkan diri memengaruhi
pemilih untuk jabatan tertentu di kemudian hari. Dengan demikian, meski
bungkusnya publisitas, tetapi targetnya sama dengan kampanye yakni positioning, branding,segmenting. Menanamkan
kesan di benak para pemilih, memalingkan
perhatian khalayak,mengidentifikasi kelompok-kelompok potensial.
Kedua,
tipe The leader of the governing artinya pejabat yang sedang memerintah dan dalam waktu dekat
belum memiliki agenda kampanye untuk bertarung lagi di pemilu.
Nama-nama
seperti Gita Wirjawan, Dahlan Iskan, Marzuki Ali, Hatta Radjasa, dan sederet
nama pejabat lain yang melakukan publisitas politik dapat kita masukan ke tipe pertama. Sementara Deddy Mizwar bisa menjadi contoh
yang pas untuk tipe kedua. Semua berpotensi merusak etika politik meskipun bisa
menghindari adanya pelanggaran regulasi.
Tak
elok, jika iklan layanan masyarakat yang dibiayai kementrian, ditumpangi sang
mentri yang akan nyapres atau ikut konvensi. Sementara iklan produk komersial
yang dibintangi Wagub Deddy Mizwar akan
memantik kritisisme warga Jawa Barat terkait dengan prioritas dan performa
komunikatif dalam mengemban mandat kekuasaan. Alasan sudah terikat kontrak
komersial sebelum menjadi wagub bisa saja terucap, tapi jika dedikasi atas jabatan
dan mandat kekuasaan di atas hitung-hitungan kontrak, maka tentu Wagub Deddy
Mizwar akan memilih berhenti sementara menjadi bintang iklan produk komersial
hingga jabatannya usai.
Semua
pejabat publik seyogianya perlu merenungkan ulang ucapan presiden pertama
Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L Quezon (1878-1944), yang
mengingatkan agar ”loyalitas terhadap partai berhenti ketika loyalitas terhadap
negara dimulai”. Ucapan ini dikutip ulang oleh Presiden Amerika Serikat John F
Kennedy (1917-1963) untuk menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan
seorang pejabat publik. Loyalitas menjaga marwah jabatan publik harus di atas
partai dan urusan komersial milik pribadi.
Siapa
pun yang bersiap menjadi pejabat publik tentu sudah menghitung konsekuensi apa
yang akan melekat pada jabatan yang diembannya. Jangan sampai, si pejabat
publik melakukan apa yang oleh Jean
Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra disebut sebagai simulasi realitas. Dalam
konteks ini, tindakan si pejabat bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolah-olah
mewakili kenyataan padahal
tidak sama sekali.