Pagi buta
suara remang-remang terdengar ditelinga memanggil-manggilku, “Le…tangi…. Leee…… Tangi..”. Setua usiaku ini Ibuku masih
tetap sabar membangunkanku hampir tiap pagi untuk menjalankan kewajiban yang padahal
sifatnya kebutuhan individu. Ini dianggap “bejo” juga boleh, dianggap
keterlaluan juga masuk akal.
Orang Jawa
dilingkungan saya masih banyak yang memahami juga melakoni ragil bagiane ngabdi wong tuo (anak ragil kewajibannya
mengabdi/merawat orang tua), begitupun setiap anak bungsu; baiknya ikut serta momong / membantu biaya dari kebutuhan (pendidikan)
adik-adiknya. Dan punya anak semata wayang merupakan keprihatinan bagi orang
tua yang menginginkan banyak keturunan, karena orang Jawa rata-rata lebih
merasa bahagia jika punya banyak keturunan yang nanti dapat melanjutkan
perjuangan orang tuanya, anak kui rejeki
(anak itu rizki).
Sepulang saya
menemani anak-anak belajar disekolah yang baru hari ke-3 mereka masuk setelah
liburan, saya berniat ke sebuah tempat yang perasaan saya sudah sangat lama tak
kesana, dan benar-benar saya merasa gagap kebingungan kenapa niat saya seakan-akan
selalu terhalang, atau boleh jadi niatku belum bertekat bulat. Sehingga ada
kendala sedikti, niat awal menjadi terurungkan. Dan hal ini juga masih menggurung
perasaan tak jua terlepas dari fikiran; kenapa begini, yang padahal sebelumnya saya
lancar dan enteng-enteng saja untuk bersilaturrahmi
kesana. Seperti mendadak fikiranku pekok,
sesekali saya garuk-garuk kepala kalau teringat itu.
Manusia memang
ketika dijalankan kesebuah tempat atau dalam suatu situasi, secara tidak
langsung itu atas perkenanNya, entah hansilnya membuat gelisah/puas maupun
tidak. Dengan kata lain, tujuan terbaik adalah jalan yang olehmu melangkah kamu
yakini sebagai jalan terbaik. Tanpa kelamaan pilah-pilih kira-kira mana yang tak
resiko. Makanya sewaktu saya menuju kesuatu tempat tadi, saya dihadapkan dengan
pilihan yang diantaranya beresiko besar. Karena ada ular yang kira-kira kalau
tidak saya gilas mati dengan motor saya; akan membuat orang girap-girap ketakutan, kaget, terpeleset
dan jatuh.
Sebab ular
yang masih hidup kira-kira sebesar jempol kaki itu berada ditengah jalan dan
dibelakang saya ada Ibu-ibu mengendarai sepeda motor, gawatnya kalau Ibu itu
kaget dan takut melihat ular dapat mengakibatkan motornya oleng dan kecelakaan.
Namun di pikiran saya yang lain, ular itu makhluk yang punya hak hidup. Tapikan
sunnah juga membunuh hewan yang membayakan keseleamatan manusia. Kurang lebih 2-3
detik pikiranku berdiskusi sendiri sewaktu ban motorku mendekati samapai ke
ular itu kurang lebih berjarak 1 meter. Tidak mungkin juga pilihan terbaik
menurutku tak diizinkan Alloh. Pikiran nakalku timbul sehentak, sembari saya belajar
memilih diantara dua pilihan yang seakan-akan semuanya salah.
Setelah beberapa
meter dari ular yang membuat saya galau dan akhirnya saya gilas, jadi dua kali
berfikir keras sembari saya menengok kebelakang dan ngintip (menengoknya) dari spion kananku. Rasa-rasanya Ibu itu kok lewat
dengan damai juga tak merasa kaget atau takut melihat ular kasihan itu. Waduh….?!
gimana keadilanNya nanti ya?! Sembari saya tanca gas ngacir.