(Sebuah Potret Pemikiran)
Michel
Foucault (1926-1984), adalah seorang filosof prancis, yang sangat berpengaruh
terhadap pola pikir mohamad arkom – yang mengemukakan bahwa manusia pada
tiap-tiap zaman menangkap kenyataan dengan cara tertentu (episteme). Karena
manusia menangkap, yaitu memandang dan memahami kenyataan dengan cara tertentu,
manusia membincangkan dengan cara tertentu pula, inilah yang disebut diskursus
atau wacana.[1]
Berangkat dari thesis Foucault diatas,
akan sangat menarik bila kita transfer pada khasanah pemikiran islam. Para
pemikir muslim pada abad tengah (skolastik) tentunya meiliki episteme dan
wacana tersendiri yang sudah jelas memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan
pemikiran muslim era modern ataupun postmodern saat ini. Jika realitasnya
demikian, apakah pemikiran akhir abad 20 harus terpaku dengan episteme dan
wacana mereka. Apakah tidak sebaik pemikiran kontemporer mengenai wacan
sendiri.
Baik episteme maupaun wacana miliki
historisitas yang berbeda bahkan bertolak belakang. Dalam era modern dan
mdernisme islam pada saat ini (1997), perkembangan sains dan teknologi yang
dibarengi dengan semakin canggihnya media komunikasi, adalah sebuah kenyataan
yang harus mendapat perhatian tersendiri para intlektual muslim. Kondisi yang
demikian tentunya tidak akan ditemui oleh para pemikiran muslim abad tengah
(Middle Age Thingkers) seperti Ibnu Sina (Ave Cena), Al-Ghozali, ataupun Ibnu
Rusy (Averose) serta pemikir-pemikir lainnya. Itulah yang penulis maksudkan
dengan perbedaan historisitas.
Sebelum melangkah lebih jauh,
penulis dalam hal ini sangat setuju dengan pemikiran Abdurrahman, perlu
dipertegas bahwa Islam dengan pemikiran Islam adalah dua hal yang berbeda.
Islam adalah wahyu, sedangkan pemikiran Islam adalah kebenaran subyektif hasil
daya tangkap sesorang terhadap pesan wahyu yang subyektif. Sebagai kebenaran
subyektif, pemikiran Islam dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
informasi disekitar pembacaan pesan Allah itu yang dikuasai seseorang, baik
pada tingkat pengetahuan maupun pengalaman. Oleh karena itu setiap lontaran
pemikiran harus dianggap sebagai karya ijtihad dalam rangka menanggapi kehendak
Allah SWT dan sebagai firman Allah SWT itu sendiri.[2] Dengan demikian setiap
topik pemikiran Islam pada dasarnya merupakan daerah didiskusikan, kritik,
komentar dan bukan sebaliknnya menjadi ajang klaim kebenaran (truth claim) yang
hendak memutlakkan kebenaran itu sendiri.
Searah dengan pemikiran tersebut,
pemikiran dan penyair Muhammad Iqbal (1877-1938) pernah mengemukakan bahwa
ijtihad “merupakan prinsip gerak Islam”.[3] Dengan stetmen seperti
itu, Iqbal sepertinya hendak mengingatkan habwa tanpa ijtihad yang kreatif dan
terus menerus, kaum muslimin akan dilanda kebekuan berfikir dan mengalami
stagnasi. Oleh karena itu bagi Iqbal pembaharuan harusnya merupakan esensi,
sesuatu yang inhern dalam ajaran islam.[4]
Mungkin itu
dapat dijadikan pretensi, mengapa kita perlu merekonstruksi para intelektual
muslim preode klasik dan abad tengah bahkan pemikiran modern sekalipun. Dengan
kata lain, adalah suatu yang abash bila kita mengkritisi pemikiran para imam
madzhab, para mufasir dan para teolog serta para sufi, yang nota bene mereka
memiliki episteme dan diskursus yang
berbeda dengan generasi kontemporer, akhir abad ke-20.
TEMA SENTRAL
PEMBAHARUAN
Secara garis besar niat para pemikir
islam terhadap wacana pembaharuan, pembongkaran (dekonstruksi) dan
reaktualisasi pemikiran Islam dil terbelakangi oleh realitas keislaman, baik sosial,
ekonomi, hukum, dan pemikiran filsafat yang baku. Dalam waktu yang cukup lama
umat Islam dikungkung oleh tradisi pemikiran yang dokmatik idiologis, produk
zaman sekolastik abad pertengahan. Tradisi pemikiran yang dokmatis idiologis
ini pada gilirannya telah telah menjadi semacam imaginare, angan-angan
kebenaran yang secara turun-temurun berabad-abad lamanya menghidupi masyarakat
agama (Islam) dibelahan bumi ini.[5] Kenyataan inilah
yang pada akhirnya disadari sebagai faktor yang mendasar mengapa umat Islam
selama ini tidak mampu mengejar ketinggalan didalam wacana pemikiran dan
kebudayaan. Dalam bahasa Hasan Hanafi, “Limadza taakhara al muslimun wa
waqoddama al khorun.”
Apabila kita berbicara tentang
pembaharuan dalam pemikiran Islam atau mungkin lebih tepat dengan pembaharuan
dalam pemahaman Islam, maka kita akan menanyakan hal-hal apakah dalam dunia
Islam yang sudah mengalami degenerasi sehingga memerlukan pembaharuan,
penyegaran atau revormasi. Pemahaman dalam bidang apa saja yang telah
dihasilkan oaleh para pemikir abad modern sekarang ini.
Dalam Islam in transition; muslim
perspektiv, seperti ditulis oleh Dr. M. Amin Rais (1992), menyebutkan
setidaknya ada lima tema yang menjadi pusar nperhatian para pemikir
kontemporer, yaitu: 1) hubungan iman dan ilmu, 2) Ajaran Islam dalam segi
sosial, yakni sampai sejauh manakah Islam mengajarkan keadilan sosial, 3)
Hubungan antara Agama dan Negara, 4) Masalah pembaharuan hokum, dan 5)
menyangkut ajaran islam dalam bidang ekonomi.[6]
Sayang sekali dalam tema-tema tersebut tidak menyinggung masalah yang juga
sangat penting dalam kaitannya dengan pembaharuan pemikiran islam secara
komperhensif.
William Montgomery Watt,[7]
juga menyinggung masalah ini denga “Islamic fundamentalism and modernity”,
menurut dia, ada empat tema utama dalam reformasi pemikiran Islam. 1) pemulihan
kembali jadi diri, 2) rekonstruksi intelektual (intelevtual reconstruction), 3)
hubunga antara agama dengan politik (the linking of religion and politics), 4)
politik internasional (international politics), 5) isu-isu soSial (cocial
issues) yang mencakup: opening the gate of ijtihad, some particular social
problems, human rights, the position of women, dan 6) Islam dan agama.
Masalah pertama, yang menjadi fokus
perhatian para reformer (pembaruan) pemikiran Islam adalah pemulihan kembali
jati diri yang lebih sejati (truer self image). Pembaharuan yang dapat
dimasukkan pada kawasan ini diantaranya, Seyyed Hossain Nasr, seorang neo
tradisinalis, asal Iran yang gencar atas gagasan tradisinya.[8]
Kedua, rekonstruksi intelektual.
Mohamad arkoun misalnya, yang selalu menggemborkan untuk memanfaatkan ilmu
pengetahuan barat modern-antropologi, linguistik, semoitika, filsafat dsb. –
dalam study Islam. Menuurtnya penaklukan pemikiran barat sama sekali tidak akan mengancam pemikiran
dan masyarakat Islam, melainkan merupakan sarana untuk memahami dengan lebih
baik mengapa pemikiran Islam telah sampai pada kekuatan dan ketertutupan dan
sebagaimana keterbatasan itu dapat ditiadakan.[9]
Demikian Fazlurrahman, yang oleh Watt dijlaskan:
In his programe for acheaving this
he assigned a can tral pleace to anew exegesis of qur’an. Such an exegesis must
regard the teaching of qur’an as a whole, and not take particular verses in
isolation. In which a specific rule wes foemulated, ….. it is the general
objective which will gine guidance in dealing with present day problem.[10]
Keduannya,
baik Arkoun dan Rahman menerima sepenuhnya kritikisme histeris barat, dan
menerapkannya untuk mengkaji ulang sejarah pemikiran Islam. Mereka juga
memahami yang esensial adalah tidak menafikan psikologi masyaarakat modern
terhadap kajian tentang Al-Qur’an. Dalam hal ini Arkom sebagai intelektual
Islam liberal, menggunakan katagori thinkable, unthinkable, dan unthought.[11]
Untuk memahami Islam. Selain Arkoun dan rahman mungkin dapat memasuskkan
kawasan ini adalah harus Nasution, Mukti Ali, Amin Abdullah, (termasuk didalam
kelompok ini adalah Hasan Hanafi).
Tema ketiga,
The Linking Of Religion And Politics, hubungan antara agama dan politikmereka
yang sangat concern terhadapa tema ini diantaranya, revormer Turki Mahmed Ziya
Gokalp dengan nasionalisme Turkinya,[12]
dan Badid Uzzaman Said Al Mursi dengan idenya “Politico Religion”[13]
di Turki di Indonesia mungkin diwakili Nur Cholis Majid dengan semboyannya
“Islam Yes, Partai Islam No”.[14]
Keemapat,
politik internasional (international politics) tema ini agaknya tidak banya
mendapat perhatian tersendiri dikalangan intelektual Islam kontemporer. Tapi
dapat diwakili oleh para reformis Turki, mengingat Turkilah Negara Islam yang
pertama mengadakan pembaharuan. Dan dari pemikir kontemporer adalah Abdullah
ahmed anna’im.
Tema yang
kelima, tentang sosial issues, yang diantaranya mencakup hak asasi manusia,
posisi kaum hawa (feminims) dan masalah-masalah social khusus lainnya. Mereka
content dengan msalah in, diantaranya hasan hanafi, yang telah mengedepankan
konsep Islam Left (Al Yassar al Islam).[15]
Pemikiran hasan hanafi merupakan pengintegrasian wawasan keislaman dari
kehidupan kaum muslimun kedalam upaya penegakan martabat manusia melalui usaha
pencapaian otonomi individual lebih penuh bagi masayrakat; penegakan kedaulatan
hukum; penghargaan tehadap hak-hak asasi manusia, dan penguatan (empowerment)
bagi kekuatan masa rakyat jelata.[16]
Pemikiran islam kontemporer lainnya yang memiliki perhatian besar terhadap tema
ini, adalah Abdullah ahmed anna’im dengan bukunya yang tekenal ”Toword And
Islamic Revormation, Sivil Liberties,[17]
Human Rights And International law”. Pemikiran naim ini dikonstruksi dalam
bangunan (konstruk) argumentasi bahwa Islam, yang telah lama tidak merespon
realitas diskriminasi penindasan dan penyelewengan hak asasi manusia, harus
mulai melakukan apa yang ia sebut Islamic Law Revormation. Revormasi ini
menurut Anna’im sangat penting untuk menjawab yang dialamatkan oleh media barat
kepada Islam sebagai agama yang tidak pernah demokratis. Selain itu juga kunto
wijoyo dengan ilmu sosial profetik.
Yang lebih
menarik dari sosial issues ini adalah, mencuatnya isu gender atau lebih
familiar dengan feminisme, yang dalam hal ini diwakili oleh riffat hasan maupun
fertimamernisi.[18]
Keduanya menggugat status quo yang dialami wanita dalam Islam.
Tema keenam,
hubunga islam dengan agama lain. Adalah pro. Mukti ali dengan konsepnya “agree
in disagreement” yang mengedepankan isu kerukunan beragama dalam suasana
pluralitas agama. Mukti ali dala, hal ini dikenal sebagai bapak kerukunan hidup
beragama di Indonesia.[19]
Sebagai media untuk pengembagan kerukunan hidup beragama adalah perlunya
diadakan dialog antar umat beragama.
Tema yang lain
yang juga sangat penting adalah ajaran islam dalam bidang ekonomi, dakwah
Islam, dan tentang pendidikan islam. Tema ini belum banya mendapat perhatian
para pemikir kontemporer.
CORAK PEMBAHARUAN PEMIKIRAN ISLAM
G. E. Von
Grunebaum, dalam sebuah tulisannya tentang westernisasion in Islam…..menjelaskan:
the political and cultural realities of the last one nundred and fity years
have nade it inevitable that the presense if the west its civilizational
concepts should be reflected in any attempt to re-think Islam.[20]
Penjelasan Grumebaund ini – lepas dari posisinya sebagai orientalis –
memberikan sinyal bahwa untuk mengkaji ulang pemikiran Islam, barat dan
peradabannya memiliki pengaruh yang sangat dominan. Walaupun dengan istilah
atau tema “modernitas” sekalipun – yang oleh Nur Kholis Majid dinamika
rasionalisasi – tetap mengambil unsur-unsur Barat.
Pemikiran
kontemporer terkemuka, seperti Fazlurrahman, Mohammad Arkoun, dan Seyyed
Hossein Nasr, yang mereka adalah hasil didikan dari Universitas di Barat,
jelas-jelas dipengaruhi metodologi Barat. Tarik-menarik antara pribadi pemikir
dan lingkungannya tentunya juga ikut berpengaruh dalam bentuk pola pikirnya.
Barat, dalam
hal ini, diakui memiliki andil besar dalam upaya merekonstruksi, merfolusi, dan
memperbaharui pemikiran Islam kontemporer, terutama kaum modernis dan neo
modernis.
Berhadapan
dengan tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang tertumpu pada
modernitas, jawaban yang diberikan oleh sejumlah intelektual muslim dari
berbagai bangsa sejak akhir abad yang lalu bukan saja menampakkan segi yang
berbeda tetapi bahkan saling berbenturan.[21]
Dalam era
modern dan pasca modern, tampak para pemikir Islam pasca “pintu ijtihad telah
dibuka”. Dapat digolongkan berorientasi dalam dua corak besar. Yakni mereka
yang menganut faham kebudayaan statis dan faham kebudayaan dinamis. Yang
pertama, cenderung melakukan konservasi budaya Islam secata total berdasarkan
orientsi kebelakang (dogmatisasi realitas). Kelompok kedua, berorientasi
kedepan dengan berupaya melakukan uji coba dan menciptakan warisan kebudayaan
Islam dalam persyaratan sejarah yang berubah-ubah dalam horizon baru. Hal ini
didasarkan atas keyakinan bahwa pemahaman Al-Qur’an dan perkembangan ummah
selalu memiliki dialektika, baik menurut situasi atau pemikiran baru di luar dirinya.[22]
TIPOLOGI
PEMIKIRAN ISLAM
Banyak
penulis tentang pembaharuan pemikiran islam mengalami kesulitan dalam
mengelompokkan atau dalam membuat tipologi yang pas terhadap pemikiran Islam
hingga kini. Hal ini disebabkan karena kompleksitas pemikiran Islam itu
sendiri.
Syafi’i Maarif
mengkatagorikan tersebut kedalam empat kelompok,[23]
ebagai berikut:
Pertama,
kelompok modernis dan penerusnya neo-modernis. Mereka yang termasuk didalamnya
antara lain mulai dari jamaluddi Al Afgani, Muhamad Abduh, Fazlurrahman,
Muhamad Arkoun, An Na’im, Hasan Hanafi, Harun Nasution, dan Nur Cholis Majid.
Kelompok ini dikenal dengan atau dikenal sebagai pembela prinsip ijtihad
sebagai metode utama untuk mengikis kebekuan pemikiran umat Islam. Kritik
kelompok kepada ulama tradisional terutama karena sikap mereka yang terlalu
terpukau dan terpaku pada pemikiran Islam klasik yang memang sangat kaya itu. Begitu
terpukaunya, hingga tidak jarang visi mereka terhadap Al-Qur’an mengalami
kebalauan, disialaukan oleh tradisi. Kelompok ini sebetulnya tidak menolak
tradisi, tetapi menyikapinya dengan kritits. Sedangkan neo modernitas Islam
tidak lain dari modernitas Islam plus metodologi yang mantap dan benar untuk
memahami Al-Qur’an dan Sunnah nabi dalam perspektif sosio historis.[24]
Kedua,
kelompok tradisionalis dengan kecenderungan sufisme yang kental bercampur
dengan filsafat. Tokoh-tokohnya antara lain: Frichof Schuon, Hamid Algar,
Seyyed Hossen Nasr, Mohammad Naqueb Al Atas. Dimata mereka peradaban barat
telah tercerahut dari akal spiritual – transcendental, dan telah sepenuhnya
bercorak antroposentris. Tipologi kedua ini tidak berbicara tentang islam dan
politik seperti yang menjadi agenda perbincangan golongan pertama.
Ketiga, kelompok
yang serta eksklusif Islam (Islamis)
yang menjadikan Islam terutama sebagai ide politik. Kelompok ini sangat anti
Barat. Tokoh-tokohnya adalah Maududi, Sayyid Qutub, dan Khomeini. Karena muatan
politik begitu mendorong dan menyarati kelompok ini, maka rona wajah islam yang
mereka tampilkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh penafsiran mereka
terhadap fluktuasi politik dari masa ke masa.
Ke empat, golongan
moderenis sekularis muslim, diantaranya adalah Ali Abdur Raziq, Kama Attaturk,
Basam Tibi dan Abdullah Laraoui. Attribut seklureis di sini hendaklah dibatasi
dalam pandangan mereka tentang hubungan Islam dengan politik. Bagi mereka,
agama harus direduksi menjadi sistem etika belaka. Tibi misalnya, melalui
karya-karyanya telah berusaha mengangkat kembali masalah hubungan Islam dan
kekuasaan. Baginya, sekulerisme bukanlah hasil dari tindakan suka rela; ia
melekat sebagai akibat sampingan yang pasti dari proses industrialisasi.[25]
EPILOG
Walaupun akhir-akhir ini pemikiran Islam
mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan, akan tetapi secara subtantif
masih perlu dikembangkan lebih jauh lagi. Maksudnya, pemikiran Islam yang
hendak ditawarkan dan dikembangkan adalah pemikiran Islam yang memecahkan
kemanusiaan. Dan kalau berbicara masalah hal tersebut, menurut Syafi’I Ma’Arif
kita masih di awal jalan. Misalnya tentang feminisme, sistem politik, sistem
ekonomi atau perbankan, - para pemikir muslim belum memiliki persepsi yang
sama.[26]
Namun demikian eksperimentasi intelektual dan
ilmiah para pemikir muslim tersebut, adalah gairah keberhasilan dalam
keber-Islaman baru yang teruse berkembang merefleksikan diri terhadap realitas
tentang yang harus dihadapi masing-masing. Tentang yang harus dihadadi Mesir,
Pakistan, Sudah Turki dan Indonesia. Masing-masing memiliki seting sosiologis,
kultural dan psikologis tersendiri. Akhirnya “masalah pemikiran Islam”adalah
sebuah pertarungan doktrin dan historisitas.
[1] Johan Meuleman. “Pengantar; Riwayar Hidup Dan
Latar Belakang Mohamad Arkom,” dalam Nalar
Islam Dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan Dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS,
1994). P. 21
[2]
Muslim Abdurrahman. pengantar; Riwayat Hidup Dan Latar Belakang Mohammad Arkon,
dalam Nalar Islam Dan Nalar Modern
Sebagai Tantangan Dan Jalan Baru, (Jakarta: INIS, 1994), P. 21
[3]
Muhammad Iqbal. Membangun Kembali
Pemikiran Agama Dalam Islam, alih bahasa: Ali Aidah Dkk., (Jakarta:
Tintamas, 1966), P. 143-145
[4] M.
Syafil Anwar. “Sosiologi Pembaharuan
Pemikiran Islam, Nurcholis Majid”, Jurnal Ulumul Qur’an, Nomor 1, vol IV
thn 1993. P. 46
[5] Imam Baihaqi. Wacana Islam Dan Kemanusiaan,
Harian Bernas, Kamis 12 Dsember 1996
[6] Amin Rais. Cakrawala Islam Antara Cita Dan
Fakta; (Bandung, Mizan 1992), P. 116
[7] W. Montgomery Watt. Islma Fundamentalism
And Modernity, (Edinburg: Edinburg University Perss, 1981) Traditional Islam
In The Modern, (Kualalumpur: Foundation For Traditional Studies 1987)
[8]
Baca : Seyyed Hossein Nasr. Knowledge and the sacred, (Edinburdge : Edinburdge
University Press, 1981); Traditional in The Modern (Kuala Lumpur : Foundation
for Traditional Studies 1987).
[9] Meulemen. “Pengantar”, 12.
[10] Watt. Islamic, p. 68-69. Baca pula
Fazlurrohman. Islam And Medernity; Transformation Of An Intellectual
Tradition, (Cycago: Cycago University, 1982)
[11] Ibid. P. 1
[12] Meuleman. “Pengantar”, 12.
[13]
Baca: Serif Mardin. Religion And Social Change In Turky, The Cace Of
Badi’ Uzzaman Saiud Nursi, New York Stete University Press, 1989
[14] Baca: Nur Cholis Majid. Islam Kemodernan
Dan Islam Keindonesiaan, (Bandung: Mizan 1989)
[15] Baca: Hasan Hanafi. “Alyasar Al Islam;
Paradikma Islma Transformatif”, Terjemahan Seful Muzani Islamika,
1.Juli-September 1993; Kazoo Simoghaki. Kiri Islam: Antara Modernism Dan
Posmedernisme, Terjemah Imam Aziz Dan Adulinaula, (Yogyakarta: LKiS 1994)
[16] Abdurrahman Wahid. “Hasan Hanafi Dan
Eksperimentasinya” dalam Kiri Islam; Antara Modernism Dan Posmodernisme,
terjemah M. Imam Aziz dan Jadul Maula (Yogyakarta: LKiS 1984). P. XVII
[17] Buku Ini Telah Ditejemahkan Kedalam Bahasa
Indonesia dengan judul; Dekonstruksi Syariah Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia, Dan Hubungan Internasional Dalam Islam, LKiS 1996
[18] Baca: Fatimah Marnisi. Wanita Dalam Islam,
terj. Yazir Rudianti, (Bandung: Pustaka 1991); Setara Dihadpan Allah,
terj. Tim LSPPA (Yogyakarta: LSDPA, 1996). baca pula; rifat hasan “Teologi
Perempuan Dalam Tradisi Islam” dalam Jurnal Umul Qur’an, No.4 vol.1 1990 P.
45-55
[19] H. A. Mukti Ali. Ilmu Perbandingan Agama
Di Indoenesia, (Jakarta: IAIN Sunan Kalijaga Perss, 1988); Beberapa
Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali Press, 1981)
[20] G. E. Grunebaum, Islam Essays In Nature
And Growth Of Acultural Traditional, (London: Routledge, 1959).
[21] A. Syari’i Ma’arif. Peta Bumi
Intelektualisme Islam Di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1959).
[22] Muslim. Islam, p. 65.
[23] Ma’arif.
Peta Bumi, p. 12-14. Bandingkan dengan tipologi yang dikemukakan oleh
Seyyed Hasan Nasr.
[24] Ibid. p. 138
[25] Ibid. P.14
[26]
Baca: Ulumul Qur’an, nomor 1. Vol VI th 1995.P.16-17