Minimnya Keilmuan KPI Dipandang Dari Ilmu Komunikasi Dan Praktik Lapangan - Trimurjo Region
Jika anda ingin menjadi penulis, silahkan klik ini. Load...

Minimnya Keilmuan KPI Dipandang Dari Ilmu Komunikasi Dan Praktik Lapangan

Oleh: 
Saiful Munir 
Tugas Semester V FKSP KPI UNSIQ



Ada banyak sekali definisi komunikasi. Bahkan menurut catatan Frank Dance ada 126 definisi komunikasi yang berlainan di tahun 1976. Apalagi sekarang? Namun dari semua itu tidak ada yang salah ataupun benar mutlak, seperti juga model atau teori, definisi harus dilihat dari kemanfaatannya untuk menjelaskan fenomena yang didefinisikan.
Menurut ensiklopedia wikipedia.org, Komunikasi memiliki pengertian sebagai “proses sistematik bertukar informasi di antara pihak-pihak, biasanya lewat system simbol”. Dan menurut Carl I. Hovland Komunikasi adalah “proses mengubah perilaku
orang (Communication is the process to modify the behavior of other individuals )”. Sehingga komunikasi merupakan suatu unsur keilmuan yang dapat dipelajari dan termasuk dalam rumpun ilmu sosial terapan. Ruang lingkupnya pun cukup luas karena komunikasi tidak hanya berkutat pada komunikasi lisan (verbal) melainkan masih ada komunikasi non verbal yang mencakup jurnalisme. Dan kesemua itu dapat kita pelajari lewat Ilmu Komunikasi.
Mengingat sejarah terkait perkembangan ilmu komunikasi, dimana suratkabar sebagai studi ilmiah mulai menarik perhatian pada tahun 1884. studi tentang pers muncul dengan nama Zaitungskunde di Universitas Bazel (Swiss, dan delapan tahun kemudian (1892) muncul juga di Universitas Leipzig di Jerman. Kehadiran pengetahuan persuratkabaran ini semakin menarik perhatian ilmuwan. Pakar sosiologi, Max Weber, pada Konggres Sosiologi (1910) mengusulkan agar sosiologi pers dimasukkan sebagai proyek pengkajian sosiologi di samping sosiologi organisasi. Weber pun telah meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pengkajian pers sebagai studi akademik. Sepuluh tahuan kemudian pakar sosiologi lainnya, Ferdinant Tonnies, mengkaji sifat pendapat umum dalam masyarakat massa. Dalam hubungan antara pers dan pendapat umum itulah kemudian yang menaikkan gengsi suratkabar menjadi ilmu dengan nama Zaitungswissenschaft (ilmu suratkabar) pada tahun 1925. dengan demikian persuartkabaran tidak tidak lagi dipandang sebagai keterampilan belaka (Zaitungskunde), melainkan telah tumbuh sebagai suatu disiplin ilmu.[1]
Kajian ilmu komunikasi di tanah air dimulai dengan nama Publisistik, dengan dibukanya jurusab Publisistik di Fakultas Sosial dan Politik di Universitas gajah mada pada tahun 1950. Juga di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat di Universitas Indonesia pada tahun 1959. Demikian juga pada tahun 1960 di Universitas Pajajaran Bandung dibuka Fakultas Jurnalistik dan Publisistik. Melalui proses yang panjang lahirlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 107/82 tahun 1982. Keppres ini membawa penyeragaman nama disiplin ilmu ini menjadi ilmu komunikasi.[2]
Dari paparan di atas tentu sekarang kita memiliki pandangan bagaimana komunikasi itu. Komunikasi merupakan suatu unsur keilmuan yang dapat dipelajari dan termasuk dalam rumpun ilmu sosial terapan. Ruang lingkupnya pun cukup luas karena komunikasi tidak hanya berkutat pada komunikasi lisan (verbal) melainkan masih ada komunikasi non verbal yang mencakup jurnalisme. Dan kesemua itu dapat kita pelajari lewat Ilmu Komunikasi. Dan dapat diartikan bahwa Ilmu Komunikasi adalah ilmu yang mempelajari berbagai aspek-aspek Komunikasi dan prakteknya. Sedangkan menurut Carl I. Hovland Ilmu Komunikasi adalah Upaya yang sistematis untuk merumuskan secara tegar asas-asas penyampaian informasi serta pembentukan pendapat dan sikap.[3]
Melihat pemahaman masyarakat dari respon kemajuan dunia komunikasimaupun teknologi komunikasi, atau tidak secara subtansinya masyarakat dalam menyimpulkan sebuah keilmuan komunikasi yang menjadi persoalan besar dalam dakwah Islam khususnya prodi komunikasi penyiaran Islam (KPI) yang ada di akademik civitas ditengah maraknya dunia ketiga atau digital sekarang ini. Sehingga masyarakat hanya merasakan enaknya saja tanpa tahu bagaimana arus perkembangan, dampak positif, dampak negatif atas komunikasi dakwah Islam.
Pengertian yang lain, Prodi KPI mempunyai PR besar dalam dunia komunikasi dakwah Islam dengan seharusnya mempunyai orientasi visi, misi, sasaran, dan tujuan yang diharapkan tidak hanya mampu memberikan output yang sesuai dengan standar akademik yang ditentukan, tetapi juga mampu memenuhi kualifikasi pasar kerja yang kelak akan memanfaatkan output itu. Untuk menjawab kebutuhan pasar sekaligus dimilikinya kecakapan akademik yang ditentukan, maka visi yang diemban oleh Prodi KPI  adalah menjadi prodi yang benar-benar mumpuni dalam skill terutama, juga kebutuhan penguatan imtaq dan iptek bidang komunikasi dan penyiaran dalam rangka terwujudnya tenaga dakwah Islam yang profesional ditengah maraknya media komunikasi sekarang ini.
Menurut alexis S. Dalam komunikasi massa, komunikatornya adalah organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkan secara serempak kesejumlah orang banyak yang terpisah. Komunikator dalam proses komunikasi ini biasanya media massa berupa media cetak maupun meida elektronik. Media massa tersebut adalah “organisasi sosial”, sebab individu di dalamnya mempunyai tanggungjawab yang sudah dirumuskan seperti dalam sebuah organisasi.[4]
Media, baik umum, alternatif maupun tradisional/nonkonvensional, yang andal, akurat dan objektif, dapat membantu mencegah dan menyelesaikan problem dalam dakwah Islam lewat fungsi-fungsi yang tertanam di dalamnya, yaitu menyebarkan informasi secara bertanggungjawab sosial, meningkatkan kesadaran dan pengetahuan, memajukan tata pemerintahan yang partisipatif dan transparan, dan mengungkapkan keluhan-keluhan masyarakat.  Dalam hal ini, efek media dalam menjawab problem dakwah Islam dapat ditilik dari segi dampak negatif yang ditimbulkan oleh media yang cenderung  mempunyai kepentingan propaganda, atau hanya berafiliasi pada ratting, iklan, dan hiburan, serta dari segi dampak positif yang dapat ditimbulkan oleh media jika dilandasi pada standar profesional yang baku, yang ditimpal dengan ketersediaan berbagai akses terhadap informasi, sumber daya keuangan yang memadai dan kepatuhan kepada kode etik.
Definisi yang dikemukakan oleh Bittner, dapat memberikan arti pentingnya gatekeeper dalam proses komunikasi disamping melibatkan unsur-unsur komunikasi sebagaimana umumnya, ia membutuhkan peran media massa sebagai alat menyampaikan atau menyebarkan informasi. Dan di dalam sebuah instansi media massa terdapat beberapa individu yang bertugas mengolah informasi yang akan disampaikan atau disebarkan, dan mereka sering disebut gatekeeper. Jadi informasi yang diterima audience dalam komunikasi massa sebenarnya sudah diolah oleh gatekeeper dan disesuaikan dengan visi, misi media yang bersangkutan, khalayak sasaran yang bersangkutan, dan orientasi bisnis, atau ideal yang menyertainya.[5]
Ditengah maraknya politik dari instansi atau pelaku komunikator saat ini, sebagai seorang da’i yang lahir dan tumbuh dari sebuah perguruan tinggi atau universitas berbasis pendidikan Islam, yang harapannya sebagai generasi modern handal baik teori maupun skill/lapangannya dalam menjawab tantangan dakwah Islam, sehingga mampu mengembangkan ilmu-ilmu penyiaran Islam dalam mencetak intelektual muslim yang tanggap terhadap perkembangan zaman pada tingkat lokal, nasional dan internasional.



[1]  Onong Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994
[2]  Ibid
[3]  Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000
[4]  Nuruddin, M.Si. Pengantar Komunikasi Massa. Rajawali Pers. Hal 11
[5]  Ibid