KONSEP MANUSIA BERKUALITAS MENURUT AL-QUR’AN - Trimurjo Region
Jika anda ingin menjadi penulis, silahkan klik ini. Load...

KONSEP MANUSIA BERKUALITAS MENURUT AL-QUR’AN


Hujair AH. Sanaky 
A. Pendahuluan
         Berbicara dan berdiskusi tentang manusia selalu menarik. Karena selalu menarik, maka masalahnya tidak pernah selesai dalam artia tuntas. Pembicaraan mengenai makhluk psikofisik ini laksana suatu permainan yang tidak pernah selesai. Selalu ada saja pertanyaan mengenai manusia (Rif’at Syauqi Nawawi, 1996 : 1). Manusia merupakan makhluk yang paling menakjubkan, makhluk yang unik multi dimensi, serba meliputi, sangat terbuka, dan mempunyai potensi yang agung.
Timbul pertanyaaan siapakah manusia itu?
Pertanyaan ini nampaknya amat sederhana, tetapi tidak mudah memperoleh jawaban yang tepat. Biasanya orang menjawab pertanyaan tersebut menurut latar belakangnya, jika seseorang yang menitik beratkan pada kemampuan manusia berpikir, memberi pengertian manusia adalah “animal rasional”, “hayawan nathiq” “hewan berpikir”. Orang yang menitik beratkan pada pembawaan kodrat manusia hidup bermasyarakat, memberi pengertian manusia adalah “zoom politicon”, “homo socius”, “makhluk sosial”. Orang yang menitik beratkan pada adanya usaha manusia untuk mencukupi kebutuhan hidup, memberi pengertian manusia adalah “homo economicus”, “makhluk ekonomi”. Orang yang menitik beratkan pada keistimewaan manusia menggunakan simbul-simbul, memberi pengertian manusia adalah “animal symbolicum”. Orang yang memandang manusia adalah makhluk yang selalu membuat bentuk-bentuk baru dari bahan-bahan alam untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya, memberi pengertian manusia adalah “homo faber”, [Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 7] dan seterusnya.
Al-Qur’an, mendudukan manusia sebagai makhluk ciptaan Allah berupa jasmani dan rohani. Al-Qur’an memberi acuan konseptual yang sangat mapan dalam memberi pemenuhan kebutuhan jasmani dan ruhani agar manusia berkembang secara wajar dan baik. Al-Qur’an memberi keterangan tentang manusia dari banyak seginya, untuk menjawab pertanyaan siapakan manusia itu?. Dari ayat-ayat Qur’an tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah makhluk fungsional yang bertanggungjawab, pada surat al-Mu’minun ayat 115 Allah bertanya kepada manusia sebagai berikut : “Apakah kamu mengira bahwa kami menciptakan kamu sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?”
Dari ayat ini, menurut Ahmad Azhar Basyir, terdapat tiga penegasan Allah yaitu [1] manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan, [2] manusia diciptakan tidak sia-sia, tetapi berfungsi, dan [3] manusia akhirnya akan dikembalikan kepada Tuhan, untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatan yang dilakukan pada waktu hidup di dunia ini, dan perbuatan itu tidak lain adalah realisasi daripada fungsi manusia itu sendiri.
Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk berpribadi, sebagai makhluk yang hidup bersama-sama dengan orang lain, sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam dan sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh oleh Allah. Manusia sebagai makhluk berpribadi, mempunyai fungsi terhadap diri pribadinya. Manusia sebagai anggota masyarakat mempunyai fungsi terhadap masyarakat. Manusia sebagai makhluk yang hidup di tengah-tengah alam, berfungsi terhadap alam. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan dan diasuh, berfungsi terhadap yang menciptakan dan yang mengasuhnya. Selain itu manusia sebagai makhluk pribadi terdiri dari kesatuan tiga unsur yaitu : unsur perasaan, unsur akal, dan unsur jasmani [Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 7-8].
Untuk mengaktualisasikan potensi di atas, dibutuhkan kemampuan dan kualitas manusia yaitu kualitas iman, kualitas ilmu pengetahuan, dan kualitas amal saleh untuk mampu mengolah dan mengfungsikan potensi yang diberikan Allah kepada manusia tersebut. Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka makalah ini lebih difokuskan pada pembahasan manusia berkualitas menurut al-Qur’an, dengan menyoroti konsep manusia, fungsi manusia, dan manusia berkualitas menurut al-Qur’an.
B. Konsep Manusia dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang digunakan untuk menunjukkan arti manusia, yaitu kata insan, kata basyar dan kata Bani Adam. Kata insan dalam al-Qur’an dipakai untuk manusia yang tunggal, sama seperti ins. Sedangkan untuk jamaaknya dipakai kata an-nas, unasi, insiya, anasi. Adapun kata basyar dipakai untuk tunggal dan jamak. Kata insan yang berasal dari kata al-uns, anisa, nasiya dan anasa, maka dapatlah dikatakan bahwa kata insan menunjuk suatu pengertian adanya kaitan dengan sikap, yang lahir dari adanya kesadaran penalaran [Musa Asy'arie, 1992 : 22]. Kata insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain adalah akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan [M.Quraish Shihab, 1996 : 280].
Kata insan jika dilihat dari asalnya nasiya yang artinya lupa, menunjuk adanya kaitan dengan kesadaran diri. Untuk itu, apabila manusia lupa terhadap seseuatu hal, disebabkan karena kehilangan kesadaran terhadap hal tersebut. Maka dalam kehidupan agama, jika seseorang lupa sesuatu kewajiban yang seharusnya dilakukannya, maka ia tidak berdosa, karena ia kehilangan kesadaran terhadap kewajiban itu. Tetapi hal ini berbeda dengan seseorang yang sengaja lupa terhadap sesuatu kewajiban. Sedangkan kata insan untuk penyebutan manusia yang terambil dari akar kata al-uns atau anisa yang berarti jinak dan harmonis, (Musa Asy’arie, 1996 : 20) karena manusia pada dasarnya dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungannya. Manusia mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan sebagai makhluk yang berbudaya, ia tidak liar baik secara sosial maupun alamiah.
Kata basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti kulit. “Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain”. Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna [dual] untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa “Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu [QS. al-Kahf (18): 110]. Di sisi lain diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah [QS.al-Rum (3) : 20] “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan kamu dari tanah, ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran”. Bertebaran di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezki [M.Quraish Shihab,1996 : 279].
Penggunaan kata basyar di sini “dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itupula, tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar [perhatikan QS al-Hijr (15) : 28], yang menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah (2) : 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang manusia [M.Quraish Shihab,1996 : 280]. Musa Asy’arie [1996 : 21], mengatakan bahwa manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu, pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan mati.
Dari pengertian insan dan basyar, manusia merupakan makhluk yang dibekali Allah dengan potensi fisik maupun psihis yang memiliki potensi untuk berkembang. Al-Qur’an berulangkali mengangkat derajat manusia dan berulangkali pula merendahkan derajat manusia. Manusia dinobatkan jauh mengungguli alam surga, bumi dan bahkan para malaikat. Allah juga menetapkan bahwa manusia dijadikan-Nya sebagai makhluk yang paling sempurna keadaannya dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain [Q.S.95 :4]. Allah sendirilah yang menciptakan manusia yang proporsional [adil] susunannya [Q.S.82:7].
Abdurrahman An-Nahlawi [1995], mengatakan manusia menurut pandangan Islam meliputi : [1] Manusia sebagai makhluk yang dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya [QS..al-Isro: 70 dan al-Hajj : 65]. [2] Manusia sebagai makhluk istimewa dan terpili. Salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia adalah menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan [Q.S.as-Syam: 7-10]. [3] Manusia sebagai makhluk yang dapat dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan untuk belajar, dalam surat al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dalan firman-Nya “afala ta’kilun”, “afala tata fakkarun”, dan lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai potensi untuk belajar.
Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan, bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta; serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya [Rif'at Syauqi Nawawi, 2000 : 11].
Selain itu, al-Qur’an juga menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia dinyatakan luar biasa keji dan bodoh. Qur’an mencela manusia disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang (al’aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan binatang buas sekalipun - derajat manusia direndahkan - Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 :
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatirkan menghianatinya, dan dipukullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
Selanjutnya dalam firman Allah : QS. at-Tiin (95) : 5-6 : “Kemudian Kami [Allah] kembalikan dia [manusia] ke kondisi paling rendah”, kecuali mereka yang beriman kepada Allah dan beramal saleh”. Selain itu al-Qur’an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah. Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A’raf : 179 sebagai berikut : “Sesungguhnya Kami Jadikan untuk [isi neraka Jahanam] kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami [ayat-ayat Allah] dan mereka mempunyai mata [tetapi] tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga [tetapi] tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.
Untuk itu, manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah, menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka bumi ini seseuai dengan rekayasa fitrahnya.
C. Fungsi Manusia Menurut al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, manusia berulang kali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara posetif. Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia itu pada prinsipnya condong kepada kebenaran (hanief) sebagai fitrah dasar manusia. Allah menciptakan manusia dengan potensi kecenderungan, yaitu cenderung kepada kebenaran, cenderung kepada kebaikan, cenderung kepada keindahan, cenderung kepada kemulian, dan cenderung kepada kesucian. Firman Allah [QS. ar-Ruum (30) : 30], sebagai berikut :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. [Itulah] agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” [ QS. 30 : 30].
Manusia juga diciptakan sebagai makhluk berpribadi yang memiliki tiga unsur padanya, yaitu unsur perasaan, unsur akal (intelektua), dan unsur jasmani. Ketiga unsur ini berjalan secara seimbang dan saling terkait antara satu unsur dengan unsur yang lain. William Stren, mengatakan bahwa manusia adalah Unitas yaitu jiwa dan raga merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan dalam bentuk dan perbuatan. jika jiwa terpisah dari raga, maka sebutan manusia tidak dapat dipakai dalam arti manusia yang hidup. Jika manusia berbuat, bukan hanya raganya saja yang berbuat atau jiwanya saja, melainkan keduanya sekaligus. Secara lahiriyah memang raganya yang berbuat yang tampak melakukan perbuatan, tetapi perbuatan raga ini didorong dan dikendalikan oleh jiwa [Sukirin, 1981 : 17-18].
Jadi unsur yang terdapat dalam diri pribadi manusia yaitu rasa, akal, dan badan harus berjalan seimbang, apabila tidak maka manusia akan berjalan pincang. Sebagai contoh : apabila manusia yang hanya menitik beratkan pada memenuhi fungsi perasaannya saja, maka ia akan terjerumus dan tergelan dalam kehidupan spritualistis saja, fungsi akal dan kepentingan jasmani menjadi tidak penting. Apabila manusia hanya menitik beratkan pada fungsi akal [intelektual] saja, akan terjerumus dan tenggelam dalam kehidupan yang rasionalistis, yaitu hanya hal-hal yang dapat diterima oleh akal itulah yang dapat diterima kebenarannya. Hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal, merupakan hal yang tidak benar. Sedangkan pengalaman-pengalaman kejiwaan yang irasional hanya dapat dinilai sebagai hasil lamunan [ilusi] semata-mata. Selain perhatian yang terlalu dikonsentrasikan pada hal-hal atau kebutuhan jasmani atau badaniah, cenderung kearah kehidupan yang meterialistis dan positivistis. Maka Al-Qur’an memberikan hudan kepada manusia, yaitu mengajarkan agar adanya keseimbangan antara unsur-unsur tersebut, yaitu unsur perasaan terpenuhi kebutuhannya, unsur akal juga terpenuhi kebutuhannya, demikian juga unsur jasmani terpenuhi kebutuhannya [Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 8].
Berbicara tentang fungsi manusia menurut al-Qur’an, apabila memperhatikan surah al-Mukminun : ayat 115 yang dikemukan pada pendahuluan di atas, dapat ditemukan dalam konteks ayat tersebut, bahwa “manusia adalah makhluk fungsional dan bertanggungjawab”. Artinya manusia berfungsi terhadap diri pribadinya, berfungsi terhadap masyarakat, berfungsi terhadap lingkungan, dan berfungsi terhadap Allah Sang Pencipta Manusia. Fungsi manusia dapat dijabarkan sebagai berikut :
1. Fungsi Manusia Terhadap Diri Pribadi
Manusia pribadi terdiri dari kesatuan unsur jasmani dan rohani, unsur rohani terdiri dari cipta (akal), rasa dan karsa. Unsur yang ada pada diri pribadi manusia merupakan kesatuan, meskipun masing-masing berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. Unsur “cipta (akal) meliputi pengamatan, ingatan, pikiran dan sebagainya. Unsur rasa terdiri dari perasaan jasmani meliputi sakit, enak, lapar, kenyang, dan sebagainya. Perasaan rohani meliputi perasaan keindahan, kesusilaan, keagamaan, sosial, harga diri, dan keilmuan. Unsur karsa terdiri dari kemauan, cita-cita, keinginan, refleks, instink dan sebagainya (Sukirin, 1981 : 20). Dengan mengetahui unsur tersebut, jika ingin memahami tingkah laku manusia, harus melihat atau meninjaunya secara total, karena manusia merupakan suatu kesatuan jiwa dan raganya; tingkah laku atau perbuatannya adalah pencerminan dari kegiatan jiwa dan raganya.
Fungsi manusia terhadap diri pribadi yaitu memenuhi kebutuhan-kebutuhan unsur-unsur tersebut secara menyeluruh agar kebutuhan pribadi tetap terjaga. Unsur jasmani yang memerlukan makan-minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan dan sebagainya dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Akal yang merupakan salah satu segi unsur rohani kita bertabiat suka berpikir. Tabiat suka berpikir akan dipenuhi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang berguna bagi hidup manusia. Rasa yang juga merupakan salah satu segi unsur rohani yang selalu merindukan keindahan, kebenaran, keadilan dan sebagainya itu kita penuhi pula kebutuhannya dengan berbagai keseniaan yang sehat, hidup dengan pedoman yang benar, berlaku adil dan sebagainya [Ahmad Azhar Basyir, 1985 : 4]. Perasaan yang rindu kepada kebaikan diisi dengan nilai-nilai moral, perasaan yang rindu kepada keindahan diisi dengan nilai-nilai seni-budaya, perasaan yang rindu kepada kemuliaan diisi dengan taqwa, perasaan yang rindu kepada kesucian diisi dengan usaha-usaha meninggalkan sifat-sifat tercela, seperti dengki, takabbur, aniaya dan sebagainya (Ahmad Azhar Basyir, 1984 : 8), kebutuhan tersebut dipenuhi dengan sebaik-baiknya.
Kehendak yang merupakan unsur rohani terpenting bagi manusia dalam usaha meningkatkan hidup dan kehidupannya harus selalu dihidupkan, jangan jangan sampai terjangkit penyakit malas yang akan mematikan unsur kehendak manusia. Kematian kehendak berarti kematian makna hidup bagi manusia. Suka menangguhkan pekerjaan yang semistinya dapat dan sempat diselesaikan segera akan mengakibatkan kemalasan, yang berarti kemalasan kehendak [Ahmad Azhar Basyir, 1985 : 5].
Dalam memenuhi unsur-unsur jasmani dan rohani, harus dijaga jangan sampai terjadi saling bertentangan satu dengan lainnya. Pertentangan yang terjadi dalam diri manusia akan mengakibatkan kegoncangan-kegoncangan, akhirnya manusia akan stres, labil, tidak tenang. Apabila sudah terjadi stres, labil, dan tidak tenang pada diri manusia, maka manusia akan mencoba mencari jalan keluar untuk mengobati dirinya, dan kadang-kadang alternatif pengobatannya tidak sesuai dengan norma-norma ajaran agama.
2. Fungsi Manusia Terhadap Masyarakat
Manusia sebagai makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya. Fungsi manusia terhadap masyarakat ditegakan atas dasar rasa yang tertanam dalam bahwa umat manusia merupakan keluarga besar, berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa, dan dijadikan Allah berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka saling interaksi untuk saling mengenal, tolong menolong dalan berbuat kebaikan dan bertaqwa. Antara sesama manusia tidak terdapat perbedaan tinggi rendah martabat kemanusiaannya. Perbedaannya martabat manusia hanyalah terletak pada aktivitas amal perbuatannya dan rasa ketaqwaan kepada Allah. Firman Allah, QS. al-Hujarat : 13, Allah mengajarkan kepada manusia sebagai berikut :
“Hai manusia, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan telah kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang paling mulia di antara kamu di hadirat Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” [QS.al-Hujarat: 13].
Dari ayat ini dapat diketahui bahwa manusia adalah makhluk individual, makhluk relegius, dan makhluk sosial. “Sebagai makhluk individual manusia mempunyai dorongan untuk kepentingan pribadi, sebagai makhluk relegi manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan dengan kekuatan di luarnya [Allah], adanya hubungan yang bersifat vertikal, dan sebagai makhluk sosial manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan manusia yang laiannya”, …maka kemudian terbentuklah kelompok-kelompok masyarakat [Bimo Walgito, 1987 : 41].
Fungsi manusia terhadap masyarakat terbangun atas dasar sifat sosial yang dimiliki manusia, yaitu adanya kesedian untuk selalu melakukan interaksi dengan sesamanya. Ditegaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia selalu mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga mengadakan hubungan dengan sesama manusia. Kesedian untuk memperhatikan kepentingan orang lain, dalam hal ini adalah tolong menolong. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2, sebagai berikut :
“Dan tolong menolong-menolong kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
3. Fungsi Manusia Terhadap Alam dan Lingkungan
Fungsi manusia terhadap alam adalah bagaimana manusia memanfaatkan potensi alam untuk mencukupkan kebutuhan hidup manusia. Banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa segala sesuatu di langit dan dibumi ditundukan Allah kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sendiri [QS.al-Jatsiyah:13]. Laut, sungai, matahari, bulan, siang dan malam dijadikan sebagai sarana kemakmuran hidup manusia [QS. Ibrahim : 32-34]; binatang ternak diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia [QS. an-Nahl : 5] ; laut ditundukkan kepada manusia sebagai sarana komunikasi
dan untuk digali dan dimanfaatkan kekayaannya [QS. Fathir:12 dan an-Nahl:14] [Ahmad Azhar Basyir, 1988 : 40].
Manusia berkewajiban mengolah dan menjaga potensi alam untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia merupakan tuntutan fungsi manusia terhadap alam. Oleh karena, dalam mengolah potensi alam yang diberikan Allah kepada manusia merupakan fardhu kifayah, karena tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk menggali potensi alam yang diberikan tersebut. Untuk itu apabila manusia menyia-nyiakan potensi alam artinya tidak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia berarti mengabaikan fungsi manusia terhadap alamnya.
Dalam memenuhi fungsi manusia terhadap alam, hendaknya selalu diusahakan agar keselamatan manusia tidak terganggu. Tidak memanfaatkan potensi alam secara berlebih-lebihan, agar generasi mendatang masih dapat menikmatinya, karena potensi alam terbatas [Ahmad Azhar Basyir, 1985 : 16]. Apabila berlaku belebih-lebihan, tamak, rakus, dalam menanfaatkan potensi alam akan berakibat kerusakan pada manusia itu sendiri. Dalam hubungan ini, Allah memperingatkan manusia [QS. Ruum : 41] bahwa, “Kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia sendiri; Allah merasakan kepada mereka sebagai [akibat] perbuatan mereka, supaya mereka kembali ke jalan yang benar”. Berdasarkan ayat ini, maka pemanfaatan potensi alam untuk kepentingan manusia sekarang, harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang, dengan berusaha menjaga, melestarikan potensi alam tersebut.
4. Fungsi Manusia Terhadap Allah
Fungsi manusia terhadap Allah ditegaskan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56, sebagai berikut :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.
Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 21, Allah memerintahkan manusia untuk beribadah, sebagai berikut :
“Hai manusia, beribadahlah kamu kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelummu, agar kamu bertaqwa”.
Dengan demikian, beribadah kepada Allah yang menjadi fungsi manusia terhadap Allah baik dalam bentuknya umum maupun dalam bentuk khusus. Ibadah dalam bentuk umum ialah melaksanakan hidup sesuai ketentuan-ketentuan Allah, sebagaimana diajarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Ibadah dalam pengertiam umum mencakup segala macam perbuatan, tindakan dan sikap manusia dalam hidup sehari-hari. Sedangkan ibadah dalam bentuk khusus (mahdhah) yaitu berbagai macam pengabdian kepada Allah yang cara melakukannya sesuai dengan ketentuan syara’.
Dalam bidang ‘aqidah, fungsi manusia terhadap Allah adalah meyakini bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah melainkan Allah. Bertuhan kepada selain Allah berarti suatu penyimpangan dari fungsi manusia terhadap Allah. Bertuhan kepada Allah adalah sesuai sifat dasar manusia yaitu sifat relegius, tetapi sifat “hanief” yang ada pada manusia membuat manusia harus condong kepada kebenaran yaitu mentauhidkan Allah.
D. Manusia Berkualitas Menurut al-Qur’an
Berbagai konsep dilontarkan orang tentang hakikat manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk yang pandai menciptakan bahasa untuk menyatakan fikiran dan perasaan, sebagai makhluk yang mampu membuat alat-alat, sebagai makhluk yang dapat berorganisasi sehingga mampu memanfaatkan lingkungan untuk kepentingan manusia, sebagai makhluk yang suka bermain, dan sebagai makhluk yang beragama. Dalam al-Qur’an, manusia berulangkali diangangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara posetif, al-Qur’an mengatakan manusia itu “hanief” yaitu condong kepada kebenaran, mentauhidkan Tuhan, dan nilai-nilai luhur lainnya.
Yang banyak dibicarakan al-Qur’an tentang manusia adalah sifat-sifat dan potensinya. Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat al-Qur’an yang dengan terang
memuji dan memuliakan manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya (QS. at-Tiin (95) : 5) dan penegasan tentang dimuliakannya makhluk ini dibandingkan dengan kebanyakan makhluk-makhluk Tuhan yang lain (QS. al-Isra (17) : 70). Tetapi, di samping itu, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat lalim (aniaya) dan mengingkari nikmat (QS. Ibrahim (14) : 34) (Rif’at Syauqi Nawawi, 2000 : 8).
Apabila ditelusuri konsep-konsep tentang jati diri manusia yang dikemukakan, maka pertanyaan bagaimanakah konsep manusia berkualitas menurut al-Qur’an. Pertanyaan ini memang sangat menarik dan menantang. Untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu mengkaji beberapa pendapat dari tokoh-tokoh Psikologi tentang manusia berkualitas, sebagai berikut : (1) Karen Horney (1942, seorang ahli Psikologi), mengatakan bahwa “manusia berkualitas adalah orang yang telah mampu menyeimbangkan dorongan-dorongan dalam dirinya, sehingga mewujudkan tingkahlaku yang harmonis. Ia mampu berhubungan dengan lingkungannya, mampu menciptakan suasana aman dan harmonis. Ia tidak agresif, tidak mengasingkan diri dari lingkungannya, dan hidupnya tidak pula bergantung pada orang lain”. (2) Gordon Allport (1964), “manusia berkualitas dipandang sebagai orang yang telah menunjukkan kemampuan untuk memperluas lingkungan hidupnya, menghayati situasi untuk dapat berkomunikasi dengan hangat, menerima dirinya sebagaimana adanya, mempersepsi lingkungan secara realistik, memandang dirinya secara obyektif, serta berpegang pada pandangan hidup secara utuh. Ciri-ciri ini dimiliki oleh manusia yang telah matang (mature)”. (3) Jourard (1980), “manusia berkualitas adalah manusia sehat yang memiliki ciri (a) membuka diri untuk menerima gagasan orang lain; (b) peduli terhadap dirinya, sesamanya serta lingkungannya; (c) kreatif; (d) mampu bekerja yang memberikan hasil (produktif); dan (e) mampu bercinta”. (4) Thomas J. Peters dan Robert H.Waterman, “menamakan manusia berkualitas dilihat dari keberhasilan menjalankan usaha, adalah orang yang menampilkan ciri-ciri sebagai berikut : (a) memeiliki kegemaran untuk selalu berbuat sesuatu, dari pada banyak bertanya; (b) menampilkan hubungan yang erat dengan para rekannya; (c) bersifat otonom dan memperlihatkan kewiraswastaan; (d) membina kesadaran bahawannya untuk menampilkan upaya terbaik; (e) memandang penting keuletan dalam menjalankan usaha; (g) menempatkan orang secara proporsional; dan (h) menggunakan prinsip pengawasan yang lentur (longgar tapi ketat)”.
Masih banyak tokoh lain yang telah mencoba merumuskan karakteristik manusia berkualitas, berdasarkan sudut pandang yang berbeda. Manusia berkualitas itu antara lain dinamakan sebagai integrated personality, healthy personality, normal personality, dan productive personality [M.D.Dahlan, 1990 : 2-3]. Lebih jauh lagi ditemukan penamaan manusia berkualitas itu sebagai insan kamil, manusia yang seutuhnya, sempurna, manusia [insane] kaffah, manusia yang hanief.
Apabila memperhatikan al-Qur’an banyak sekali (tidak kurang dari 91) ayat yang berbicara tentang kejadian manusia, status manusia, martabat manusia. kesucian manusia, fitrah manusia, sifat manusia, tuags manusia, pembinaan manusia, penggangu manusia, kemampuan manusia, perbedaan manusia, nasib manusia, dan perjalan hidup manusia. Pembicaraan tentang manusia berkualitas, tersebar di antara ayat-ayat tersebut.
Banyak istilah yang digunakan al-Qur’an dalam menggambarkan manusia berkualitas atau makhluk yang diciptakan Allah dalam sosok yang paling canggih, di antaranya kata manusia beriman [al-Hujarat (49 : 14, dll] dan beramal saleh (QS. at-Tiin (95) : 6, dll), diberi Ilmu (al-Isra (17) : 85, Mujadalah : 11, Fathir : 28, dll), alim (al-Ankabut (29) : 43, dll), berakal (al-Mulk (67) : 10, dll), manusia sebagai khalifah (QS.al-Baqarah (2) : 30,dll), jiwa yang tenang (QS. al-Fajr (89) : 27-28, dll), hati yang tenteram (al-Ra’d (30) : 28, dll), kaffah (al-Baqarah (2) : 208, dll), muttaqin (al-Baqarah (2) : 2, dll), taqwa (al-Baqarah (2) : 183, dll) , mu’minin, muhsinin, syakirin, muflihin, shalihin, yang kemudian diberi keterangan untuk mendeskripsikan ciri-cirinya. Istilah-istilah tersebut saling berkaitan dan saling menerangkan. Jadi, apabila mengambil salah satu istilah dari istilah-istilah yang digunakan al-Qur’an, maka deskripsinya akan saling melengkapi dan merupakan ciri bagi yang lainnya. Dapat dikatakan bahwa konsep dan karakteristik manusia berkualitas tidak tunggal, akan tetapi komprehensif dan saling melengkapi.
“Jelaslah bahwa manusia berkualitas hendaknya menampilkan ciri sebagai hamba Alla yang beriman, sehingga hanya kepada Allah ia bermunajah, serta memberikan manfaat bagi sesamanya. Sekirannya lebih dalam ditelusuri, kedua ciri utama itu kita dapatkan pada manusia taqwa, sehingga manusia berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa” [M.D.Dahlan,1990:7]. Artinya manusia yang berperilakutawakkal, pemaaf, sabar, muhsin, mau bersyukur, berusaha meningkatan kualitas amalnya dan mengajak manusia lain untuk beramal. Untuk itu, keutamaan manusia berpangkal pada adanya iman kepada Allah dan keimannya diwujudkan dalam perilaku yang memberi manfaat bagi masyarakat, berilmu pengetahuan, dan beramal saleh.
Djamaludin Ancok [1998:12], mengutip Hartanto [1997], Raka & Hendroyuwono [1998], ada empat kapital, yaitu kapital intelektual [intelect capital], kapital sosial [social capital], kapital lembut [soft capital], dan kapital spritual [spritual capital]. Empat kapital yang dikemukan ini juga menggambar ciri manusia berkualitas. Maka, karakteristik yang dikemukakan al-Qur’an, menurut hemat pemakalah menjadi tolak ukur kualitas manusia, karena karakteristik tersebut diturunkan dari konfigurasi nilai-nilai yang dikemukakan al-Qur’an yang hadir bersama dengan kelahiran manusia ke dunia, dan menjadi sifat penentu dalam pembentukan kepribadian manusia, yaitu kualitas iman, ilmu pengetahuan, kualitas amal saleh, dan kualitas sosial.
1. Kualitas Iman
Keimanan merupakan kebutuhan hidup manusia, menjadi pegangan keyaninan dan motor penggerak untuk perilaku dan amal (aktivitas kerja) manusia. Iman sebagai syarat utama dalam mencapai kesempurnaan atau insan utama, dan merupakan langkah awal untuk menuju keshalihan dan mewujudkan perilaku, amal saleh dan pengorbanan manusia bagi pengabdian kepada Allah, karena iman juga sangat terkait dengan amal saleh.
Dalam keadaan beriman, manusia dapat memperlihatkan kualitas perilaku, kualitas amal salah, dan kualitas sosialnya yaitu ketulusan dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan masyarakat luas. Manusia akan berperilaku, bekerja, dan bermasyarakat sesuai dengan fitrah kejadiannya yang condong kepada hanief. Manusia berkualitas akan berjuang melawan penindasan, tirani, dan tidak membiarkan kediktatoran atau tindakan sewenang-wenang. Karena imam memberikan pula kedamaian jiwa, kedaimaian berperilaku, dan kedaiaman beramal saleh.
Djamaludin Ancok [1998:15], pada pembahasan kapital spritual, mengatakan bahwa “semakin tinggi iman dan taqwa seseorang semakin tinggi pula kepital Intelektual, kapital sosial, dan kapital lembut”. Manusia yang beriman hatinya akan dibimbing Allah, jiwanya menjadi tenang dalam melakukan aktivitas hidupnya, dalam QS.at-Taghaabun : 11, Allah berfirman :
…“Siapa yang beriman kepada Allah, Allah akan memimpin hatinya” [QS.64:11].
2. Kualitas Intelektual
Kualitas intelektual sudah menjadi potensi awal manusia, karena ketika manusia diciptakan, “Allah mengajarkan kepada Adam segala nama benda” [QS.al-Baqarah (2):31]. Untuk itu, manusia sejak lahir telah memiliki potensi intelektual, kemudian potensi intelektual ini dikembangkan. Kualitas intelektual merupakan perangkat yang sangat diperlukan untuk mengolah alam ini. Rasulullah bersabda “barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian dunia, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian akhirat, dengan ilmu dan barang siapa yang ingin memperoleh kebahagian keduanya juga dengan ilmu”.
Dalam al-Qur’an surat Mujadalah ayat 11, Allah mengangkat derajat orang yang memiliki ilmu pengetahuan :
“Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat”. Kemudian dalam firman Allah QS. Zumar : 9, Allah memberi perbedaan orang yang berilmu pengetahuan dan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, sebagai berikut :
“Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berimu pengetahuan”.
Ilmu pengetahuan dibutuhkan manusia guna menopang kelangsungan peradabannya, karena manusia diamanatkan Allah untuk mengolah dan memberdayakan alam ini. Oleh karena itu, ilmu yang dimiliki manusia menghantarkan manusia ketingkat martabat yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Al-Qur’an, memberikan derajat yang tinggi bagi manusia yang memiliki ilmu pengetahuan, dan memberikan perbedaan yang jelas antara manusia yang memiliki ilmu pengetahuan dan yang tidak memiliki ilmu pengatahuan.
Perbedaan antara manusia berimu dan tidak berimu dalam al-Qur’an, memberikan pejalaran bahwa “segala kejadian yang berlangsung, senantiasa dikembalikan kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan (ahlinya), bahkan martabat mereka itu disusulkan setingkat kemudian sesudah martabat pada nabi dalam mangkasyafkan hukum Allah Ta’ala” [Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi, 1973 : 15]. Djamaludin Ancok [1998:12], mengatakan bahwa “kapital intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk menemukan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak pakar yang mengatakan bahwa kapital intelektual sangat besar peranannya di dalam menambah nilai suatu kegiatan”. Untuk itu, Ilmu pengetahuan telah menjadikan manusia dengan berbagai keahlian (ahliha). Tiap keahlian menjadi unsur penyempurna dalam perakitan kehidupan sosial. Tiap aspek sosial yang tidak dikaji oleh bidang ilmunya yang sesuai akan menimbulkan usaha yang di luar kontrol nilai sosial, dan besar kemungkinan dapat mengakibatkan terjadinya ketidakharmonisan [kerusakan] di bumi. Oleh karena itu, menempatkan ahli dalam suatu bidang kehidupan tertentu menjadi jaminan keadilan bagi kehidupan kemanusiaan [Ahmad Muflih Saefuddin,1992 : 6].
3. Kualitas Amal Saleh
Amal saleh adalah pembentukan kualitas manusia, sebab tiap kerja yang dilakukan setiap saat merupakan ukiran kearah terbentuk kepribadian manusia. Amal saleh sebagai pengejawantahan iman, maka suatu pekerjaan yang dilakukan harus memiliki orientasi nilai. Ini berarti sistem keimanan teraktualisasi melalui kerja amal saleh, karena kerja semacam ini memilik dimensi yang abadi. Al-Qur’an surat at-Tiin ayat 5-6, menyampaikan bahwa “manusia akan dikembalikan kekondisi yang paling rendah, kecuali manusia yang beriman dan mengerjakan amal salah”.
Amal saleh merupakan perbuatan yang bernilai bagi manusia, dan itu pula yang akan dilihat dalam cermin hidupnya. Menurut Ahmad Muflih Saefuddin [1992:7] bahwa, “amal terwujud di kala mereka memiliki ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan tidak terwujud perbuatan yang memiliki makna bagi kehidupan manusia. Amal tidak terwujud jika tidak ada sikap percaya dalam dirinya, karena keraguan tidak dapat mewujudkan perbuatan”.
Oleh karena itu, amal perbuatan yang bermakna bagi kehidupan manusia, baru dapat terwujud apabila sebelumnya ada iman dan ilmu pengetahuan. Karena dengan beriman memberikan kelapangan terhadap penderitaan, memberikan kelapangan dalam beramal. Dengan demikian Iman dapat membentuk kekuatan dalam diri manusia untuk dapat mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, memberikan semangat kerja. Selain itu, amal saleh juga terkaitan dengan kualitas ilmu, karena dengan berilmu manusia memiliki orientasi kesanggupan melakukan perbaikan dan melakukan sesuatu perbuatan amal untuk kepentingan dan kemaslahatan manusia.
4. Kualitas Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial berfungsi terhadap masyarakatnya, artinya memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan dengan orang lain, karena manusia merupakan keluarga besar, yang berasal dari satu keturunan Adam dan Hawa. Selain itu, Allah menjadikan manusia dalam berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar mereka saling interaksi untuk saling mengenal dan tolong menolong dalan berbuat kebaikan dan bertaqwa.
Sifat sosial yang dimiliki manusia sesuai dengan fitrahnya, yaitu adanya kesedian untuk melakukan interaksi dengan sesamanya. Dalam al-Qur’an, bahwa “manusia selalu mengadakan hubungan dengan Tuhannya dan juga mengadakan hubungan dengan sesama manusia”. Selain itu dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 : bahwa manusia dalam melakukan aktivitas sosial sifat yang terbangun adalah saling “tolong menolong-menolong dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan dilarang tolong-menolong dalam berbuat maksiat, berbuat kejahatan”. Maka, kualitas sosial sangat terkait dengan kualitas iman, ilmu, dan amal selah.
Djamaludin Ancok [1998:13], juga mengatakan bahwa intelektual Kapital baru akan tumbuh bila masing-masing orang berbagai wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus membangun jaringan hubungan sosial dengan orang lainnya. … Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan sosial [social networking] semakin tinggi nilai seseorang. “Kapital sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan [diversity]. Pengakuan dan penghargaan atas perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang berbeda, dan menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan memberikan kebaikan buat semua”.
Dalam al-Qur’an, mamusia diciptakan dalam berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling kenal mengal, saling tolong-menolong. Dengan dasar ini, manusia membangun jaringan silahturrahmi antara sesamanya sesuai dengan fitrahnya. Karena dengan jaringan silaturrahmi akan memberikan kebaikan yaitu manusia dapat membangun ukhuawah antar semamanya, dengan silahturrahim antar semasamanya tercipta atau terbuka peluang-peluang yang lain, apakah berupa pengalaman, pengetahuan, amal, dan memperkuat ikatan persaudaraan yang dibangun atas dasar iman untuk menuju muara taqwa. Maka, manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan jaringan sosial, untuk membangun persaudaraan yang abadi.
E. Upaya Pendidikan Bagi Pemberdayakan Manusia Unggul
Pembicaraan tentang manusia, merupakan kunci yang paling strategis dalam upaya membangun menuju masyarakat mdani Indonesia. Maka, konsep dan proses pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, harus dapat melihat kedudukan manusia sebagai subjek didik yang memiliki potensi untuk diberdayakan dan dikembangkan. Artinya pendidikan merupakan proses humanisasi dengan menghargai segala potensi yang dimiliki manusia. Proses humanisasi dalam pendidikan, dimaksudkan sebagai upaya megembangkan manusia sebagai makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang dengan segala potensi [fitrah] yang ada padanya. Manusia dapat dibesarkan [potensi jasmania] dan diberdayakan [potensi rohaniah] agar dapat berdiri sendiri serta dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dalam proses humanisasi, berarti menusia bukan hanya sekedar memenuhi kebutuhan biologisnya saja, tetapi juga ia harus bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap kesejahteraan masyarakatnya [H.A.R. Tilaah, Pendidikan, Kebudayaan, dan…, hlm. 171. ]. Maka dalam konteks ini, “manusia harus belajar untuk bertanggungjawab, mengenal dan menghayati serta melaksanakan nilai-nilai moral [knowing is doing]., sebab tanpa tanggungjawab dan melaksanakan nilai-nilai moral tidak mungkin akan tercipta suatu masyarakat yang aman dan tenteram di mana kepribadian dapat berkembang”1. Dalam al-Qur’an, manusia dianggap sebagai makhluk yang memiliki potensi yang tidak terbatas, sebagai makhluk Allah yang paling sempurna [QS. 32: 7], memiliki potensi [fitrah] bawaan [QS.30:30] yang tidak terbatas, dapat diberdayakan, dapat dididik dan mendidik [melakukan proses mengajar] sehingga manusia menjadi makhluk terdidik dan unggul dalam kehidupnya. Proses humanisasi “merupakan proses yang terbuka, di mana manusia diberdayakan dan dioptimalkan potensi [fitrah] bawaannya sehingga manusia dapat menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan, teknologi serta penerapannya dan penghayatan pada seni serta budaya, dan sebagainya”2. Ini berarti, peran dan fungsi pendidikan sangat senteral dalam upaya proses humanisasi tersebut. Pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, harus dapat meletakkan kedudukan manusia sebagai subjek dalam proses pembinaan dan pengembangan potensi [fitrah] bawaannya. Dengan demikian dalam proses humanisasi, sangat dibutuhkan konsep pendidikan yang betul-betul dapat memberi gambaran yang komprehensip sebagai solusi dalam upaya memanusiakan manusia [humanisasi] dengan menekankan keharmonisan hubungan baik sesama manusia, masyarakat, maupun dengan lingkungan yang didasarkan pada nilai-nilai normatif ilahiyah.
Pendidikan dalam konsep Islam sebenarnya telah menetapkan dasar dan bertujuan untuk membangun manusia sebagai insan kamil, yaitu manusia paripurna, integral, totalitas dalam membangun hidup dan kehidupannya. Pendidikan Islam, meletakan kedudukan manusia sangat senteral sebagai subjek didik dalam upaya pembinaan dan pengembangannnya. Proses pendidikan berusaha untuk “melatih sensibilitas manusia [peserta didik] sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah dan keputusan, begitu pula pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan diatur dan didasarkan pada nilai-nilai etika Islam. Mereka akan terlatih dan secara mental yang sangat disiplin, sehingga pengetahuan yang dimiliki bukan hanya untuk pemuasan rasa ingin tahu intelektuan atau untuk manfaat yang sifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk rasional, makhluk yang berbudi, bermoral dan spiritual dalam kehidupannya secara menyeluruh bagi kesejahteraan masyarakat dan umat manusia3. Proses pendidikan harus berupaya mengembangkan manusia agar memiliki pengetahuan, keterampilan, spritual, dan berpikir rasional, sehingga tumbuh perilaku manusia yang mencintai demokrasi, perdamaian, hidup selaras, stabil, berbudi dan berbudaya sebagai makhluk Tuhan dan makhluk sosial yang hidup bersama manusia lain dengan tujuan memakmurkan, mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas Tuhan. Artinya proses pendidikan Islam akan menghasilkan manusia yang beramal ilahiyah dan berilmu ilahiyah sebagai manusia yang unggul [insan kamil]. Dengan dasar ini, pengembangan konsep dasar pendidikan Islam harus bersumber dari konsep ilahiyah [ketuhanan], konsep insaniyah [humanisme] dan konsep lingkungan yang integratif dan seimbang.
A. Malik Fadjar, menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk pengemban atau pemegang amanah khalifahan mempunyai potensi yang luar biasa besarnya, sehingga dapat mendayagunakan alam dan sesama manusia dalam rangka membangun peradaba4 berdasarkan nilai-nilai ilahiyah. Potensi [fitrah] bawaan manusia itu, menyangkut dengan potensi ilahiyah [ketuhanan] dan potensi kehidupan yang dilengkapi dengan hati nurani, akal pikirannya [cipta], rasa, karsa, serta dilengkapi dengan kemampuan kebebasan. Manusia juga memiliki kemampuan kebebasan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan pilihan-pilihannya [taqwa dan fujur] yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, makhluk fungsional, makhluk bercirikan etika-religius, makhluk berbudaya, yang kesemuanya itu merupakan nilai-nilai yang akan terkonstruksi dalam hidup dan kehidupan manusia itu sendiri.
Manusia sebagi makhluk Tuhan yang memiliki potensi [fitrah] bawaan ini bersifat integral-holistik. Dengan demikian pengembangan sistem pendidikan harus berorientasi kepada potensi [fitrah] tersebut, baik menyangkut dengan potensi ukhrawi dan duniawi sekaligus secara integral. Pengembangan sistem pendidikan Islam tidak hanya berorientasi kepada persoalah ukhrawi [akhirat] saja, tetapi harus terintegrasi dengan persoalan-persoalan duniawi, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, sosial kemasyarakatan, dan sebaginya. Apabila konsep pendidikan Islam dapat mengintegrasikan persoalan ukhrawi dengan duniawi, maka konsep pendidikan Islam akan tampil berbeda dengan konsep pendidikan lainnya, karena secara integratif dapat mengembangkan pendidikan ukrawiyah dan duniawiyah secara integral sekaligus. Pandangan ini, didasarkan pada konsep ajaran Islam, bahwa ajaran Islam “tidak menghendaki penghayatan agama yang mengarah pada pelarian diri dari kehidupan duniawi, tetapi bahkan sebaliknya, Islam mengajarkan asketisme duniawi, yaitu memakmurkan dan memajukan kehidupan dunia, tanpa tenggelam dalam kenikmatan semu”5.
Uraian di atas, menegaskan bahwa dalam sistem pendidikan Islam “manusia dipahami sebagai zat theomorfis, maksudnya, manusia berorientasi untuk menjadi pribadi yang bergerak di antara dua titik ekstrem yaitu antara taqwa dan fujur, antara Allah dan setan dan manusia juga memiliki kehendak bebas. Artinya, manusia mampu membentuk nasibnya sendiri dan bertanggungjawab, sehingga manusia mampu menerima amanah khusus dari Allah”6. Qur’an memberikan gambaran, bahwa para malaikat bersujud kepadanya [Adam], karena ia memiliki potensi yang integral, sehingga manusia mampu menjadi khalifah fil ardli. Allah menciptakan dan melengkapi manusia dengan potensi atau daya-daya yang ada dalam dirinya, kemudian perkembangan selanjutnya terserah pada manusia sendiri7 dan manusia dapat menentukan nasibnya sendiri. Tugas manusialah yang dapat memberdayakan potensi-potensi tersebut, karena daya-daya untuk mewujudkan kehendak itu telah ada dalam diri manusia sebelum ada perbuatan. Maka dari sini, posisi dan peran pendidikan dalam sistem pendidikan Islam adalah sangat senteral untuk memberdayakan dan mengaktualisasikan potensi fitrah, melalui pendidikan sehingga memperoleh ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan, seni dan budaya berdarkan nilai-nilai ilahiyah.
Dalam al-Qur’an, Allah telah memberikan postulat-postulat atau aksioma sebagai kunci dalam memahami, mengembangkan, dan memberyagunakan manusia, antara lain: [1] Allah telah memerintahkan manusia agar senantiasa berpikir dan menggunakan akal pikirannya dalam memcahkan persoalan- persoalan hidup yang dihadapi, seperti berpolitik, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Ini artinya, Allah telah menyediakan potensi [fitrah] pada manusia untuk diberdayakan, sehingga menjadi manusia yang fungsional. [2] Allah telah melakukan liberalisasi dalam bidang ilmu dan semua manusia [khususnya muslim] baik laki-laki maupun perempuan diwajibkan mencari ilmu kepada siapa saja dan di mana saja [Hadis]. [3] Dengan potensi akal, manusia diperintahkan untuk membuktikan kekuasaan Allah dengan cara mengkaji dan mengolah alam demi keperluan hidupnya dan dilarang berbuat semena-mena, kerusakan dan pertumpahan darah. Allah telah memberikan pertanyaan-pertanyaan penting dalam al-Qur’an tentang potensi-potensi besar yang ada di darat, laut dan angkasa. Al-Qur’an memberikan postulat-postulat atau aksioma sebagai kunci bagi manusia untuk memahami dan mendayagunakan alam. [4] Manusia diperintahkan untuk fantasirun fil ardl [mengembara di muka bumi] dalam rangka mencari ilmu pengetahuan. Ini artinya, setiap manusia, masyarakat, dan bangsa, oleh Allah diberi keistimewaan masing-masing, ilmu pengetahuan dan perkembangan pemikiran umat manusia tidak berhenti. [5] Kecintaan terhadap informasi atau pengetahuan yang akhirnya menumbuhkan kecintaan kepada kegiatan belajar8. Al-Qur’an pada ayat pertama kali turun adalah perintah iqra’, mengandung perintah untuk membaca dan belajar yang berorientasi pada upaya mengkaji tentang hakekat Tuhan [ilahiyah], mengkaji hakekat manusia [insaniyah], mengkaji penomena-penomena alam semesta [sunatullah], dan hubungan antara ketiganya serta fungsinya masing-masing secara terus menerus dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat yang unggul dan terbaik dalam kehidupan.
Uraian di atas, menegaskan bahawa dengan potensi [fitrah] tersebut, manusia memiliki kecenderungan untuk dibina dan dikembangkan sesuai dengan potensinya, karakteristiknya dan hakekat kemanusian, sehingga dapat fungsional dalam kehidupan yang betul-betul eksis sebagai pemegang amanah khalifah fil ardl. Untuk itu, pendidikan yang berdasarkan konsep dasar pendidikan Islam, harus memandang manuasi sebagai makhluk pemegang amanah khalifah fil ardl, manusia dapat didik, dilatih dan diberdayakan untuk melahirkan manusia beriman, manusia yang sempurna, bermoral tinggi [anggung dalam moralnya], memiliki pengetahuan, berwawasan luas, sebagai manipestasi dari liberalisasi Allah terhadap kewajiban seorang muslim untuk menuntut ilmu. Hal ini diujudkan dengan perintah Allah untuk membaca [iqra’] dan fantasirun fil ardl dalam rangka eksplorasi ilmu pengetahuan. Selain itu, manusia juga berkemampuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai spritual ilahiyah dengan nilai-nilai kultural duniyawiyah dalam konstruksi yang kokoh, seimbang, harmonis, dinamis dan kreatif dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, potret manusia semacam inilah yang dikehendaki dalam bangunan pendidikan Islam berdasarkan konsep potensi [fitrah] yang bernilai ilahiyah yang aktual dalam hidup dan kehidupan manusia.
Pengembangan pendidikan, harus tetap memperhatikan aspek potensi dasar manusia yang ideal dan fungsional tersebut, karena semua potensi yang dimiliki manusia akan menjadi sasaran pendidikan untuk dikembangkan melalui kondisi-kondisi yang diciptakan dengan memberikan rangsangan sesuai dengan kondisi yang diinginkan dan dikehndaki. Kondisi ini mungkin saja dapat mempengaruhi potensi, baik yang tercipta melalui proses alamiah maupun situasi yang diciptakan dalam proses pendidikan. Dengan pengembangan potensi tersebut, memungkinkan manusia tumbuh dan berkembang secara utuh, harmonis, integratif sesuai dengan nilai-nilai dan hakekat humanisasi. Maka, melalui proses pendidikan, dapat “menimbulkan pertumbuhan yang seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spritual ilahiyah, intelek, rasional diri, perasaan dan kepekaan terhadap perkembangan manusia. Karena itu, proses pendidikan seharusnya menyediakan dan menciptakan jalan bagi pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya, yaitu aspek spritual ilahiyah, intelektual, imaginatif, fisikal, ilmiah, linguistik” 9, baik secara individual maupun secara kolektif serta dapat memotivasi semua aspek tersebut untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan manusia [insan kamil].
Sejalan dengan pandangan di atas, maka pendidikan sesuai dengan fungsi dan perannya diharapkan mampu melahirkan manusia dan masyarakat yang memiliki kemampuan spritual, berilmu, bermoral, memiliki kemampuan profesional, kemampuan inovasi dalam membangun dan menata kehidupan dunia yang rahmatan lil ‘alamin. Usman Abu Bakar, menyatakan bahwa output pendidikan Islam sekurang-kurangnya diharapkan mampu melahirkan manusia yang memiliki kemampuan spritual ilahiyah yang tinggi, ketinggian ilmu, memiliki komitmen terhadap profesionalisme, memiliki akhlak al-karimah, yaitu akhlak terhadap dirinya, akhlak terhadap Allah Sang Pencipta-Nya dan akhlak terhadap makhluk-Nya yang mencerminkan “keanggunan moralitas” manusia dalam keluarga, masyarakat dan berbangsa yang merupakan ciri masyarakat madani10. Jadi manusia dan masyarakat yang unggul adalah manusia dan masyarakat yang “melakukan liberalisasi dalam bidang berpikir dan ilmu pengetahuan. Masyarakat dan bangsa yang tidak menganggap dirinya paling maju, bangsa yang terbuka untuk menerima ilmu dari mana saja, bangsa agresif dan mendunia. Bukan bangsa yang tertutup, arogan, dan mengaggap ilmu orang lain sebagai ilmu sekuler, ilmu kafir, dan sebagainnya”11.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa “manusia” dan “masyarakat” yang unggul dalam masyarakat madani Indonesia, yaitu: [1] Manusia dalam menjalankan hidupnya merupakan pengabdian kepada Allah semata [QS.51:56], karena Islam mengajarkan hidup dan seluruh aspeknya harus diniatkan sebagai pengabdian [ibdah] kepada Allah. [2] Cara terbaik untuk mendapatkan prestasi dalam hidup ini adalah dengan mempunyai ilmu dan memiliki etos kerja yang tinggi. Rasulullah saw, bersabda yang artinya : “Barang siapa menghendaki kebahagian kehidupan dunia haruslah dengan ilmu dan barang siapa menghendaki kebahagian akhirat haruslah dengan ilmu dan barang siapa menghendaki kebahgian keduanya haruslah dengan ilmu pula” [al-Hadis]. [3] Berorientasi ke masa depan, kerja keras, teliti, hati-hati, menghargai waktu, penuh rasa tanggungjawab dan berorientasi pada prestasi [achievement oriented] dan bukan prestige semata12. Jadi, manusia dan masyarakat yang unggul yang dikehendaki dalam kehidupan masyarakat madani adalah manusia yang : [a] memiliki ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, untuk peningkatan derajat dan martabatnya, [b] mempunyai cita-cita, visi dan misi, dalam kehidupan, [c] memiliki keunggulan kompetitif, komporatif, dan keunggulan inovatif, [d] taat hukum, menghargai hak asasi manusia, dan menghargai perbedaan [pluralisme], [e] memiliki rasa tanggungjawab, karena “semua masalah dalam kehidupan harus dihadapi dengan penuh rasa tanggungjawab [responsibility] dan penuh perhitungan [accountability], [f] bersikap rasional, menghargai waktu, memperhatikan masa depan [membuat perencanaan hidup] dan perubahan, kreatif dan berkarya execelence”13, sehingga tercipa “manusia madani” dalam arti manusia yang mengota, elite, dan berbudaya tinggi.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa manusia berkualitas adalah manusia yang memiliki ciri sebagai hamba Allah yang berimanan, berilmu pengetahuan dan keterampilan, yang dapat memberikan manfaat bagi sesama manusia. Ketiga cirri utama ini didapatkan pada manusia yang taqwa, sehingga manusia dan masyarakat berkualitas dapat pula diartikan sebagai manusia yang beriman, bertaqwa kepada Allah dengan memiliki sikap tawakkal, sabar, pemaaf, muhsin, dan selalu mau bersyukur. Manusia yang berusaha meningkatkan diri dengan memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki kemampuan inovasi, kemampuan melakukan perubahan serta mengajak orang untuk meningkat. Tuntutannya, peranan pendidikan dibutuhkan untuk mensosialisasikan nilai-nilai tersebut dalam rangka mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang unggul, sehingga keberadaannya secara fungsional menjadi pemeran utama bagi terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan masyarakat madani Indonesia yang demokratis.
F. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang karakteristik manusia berkualitas menurut al-Qur’an, dan beberapa pendapat dari pada akhli Psikologi tentang manusia berkualitas. Maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Bahwa Allah menjadikan manusia tidak sia-sia. Manusia merupakan makhluk fungsional dan bertanggungjawab, artinya manusia berfungsi terhadap diri pribadinya, berfungsi terhadap masyarakat, berfungsi terhadap alam dan lingkungan, dan manusia berfungsi terhadap Allah Sang Penciptanya.
2. Manusia berkualitas menurut al-Qur’an adalah manusia yang memiliki Iman kepada Allah, memiliki amal saleh, memiliki ilmu pengetahuan, dan menjalin hubungan sosial yang baik antara sesama manusia dengan tidak memandang derajat, suku bangsa, dan agama.
DAFTAR PUSTAKA

  1. Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995. 
  2. Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan Pusat UII, Yogyakarta, 1984. 
  3. Citra Manusia Muslim, Penerbit Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1985. 
  4. Manusia dan Tanggung Jawab Pembinaan Kepribadian Muslim, dalam Darwin Harsono (editor), Peranan dan Tanggung Jawab, Badan Pembinaan dan Pengembangan Keagamaan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 1988. 
  5. Ahmad Muflih Saefuddin, Kualitas Akademis Lulusan Tarbiyah, Makalah : Seminar Nasional dan Sarasehan Mahasiswa Tarbiyah, Prospek Tarbiyah dan Tantangannya, Pada tanggal, 22-23 Januari 1992, Senat Mahasiswa Fakultas Tarbiyah, UII, Yogyakarta, 1992. 
  6. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. 
  7. Bimo Walgito, Psikologi Sosial [Suatu Pengantar], Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta, 1987. 
  8. Djamaludin Ancok, Membangun Kompotensi Manusia Dalam Milenium Ke Tiga, Psikologika, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi, Fakultas Psikologi UII, Yogyakarta, 1998. 
  9. Rif’at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an, Makalah Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996. 
  10. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an, dalam Rendra K (Penyunting), Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. 
  11. M.D.Dahlan, Konsep Manusia Berkualitas Yang Dipersepsi Dari Al-Qur’an, Al-Hadits dan Qoul Ulama, Makalah Seminar Nasional Fakultas Syari’ah dan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tanggal, 19 Maret 1990. 
  12. Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi, Mau’izhatul Mukminin min Ihya’ ‘Ulumuddin” Imam Alghazali”, Al-Maktabah At-Tijjariyyah al-Kubro (tidak bertahun), Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro, Bandung, 1973.
  13.  Musya Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992. 
  14. M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, Mizan, Bandung, 1996. 
  15. Sukirin, Pokok-pokok Psikologi Pendidikan, FIP-IKIP, Yogyakarta, 1981.  
  16. Usman Abu Bakar, 1999, Pendidikan Politik Islam sebuah Prospektus Menuju Masyarakat Madani, Dinamika, Journal Of Islamic Studies, STAIN, Surakarta. 
  17. H.A.R.Tilaar,Pendidikan,Kebudayaan,.., hlm.171. 
  18. H.A.R. Tilaah, Pendidikan, Kebudayaan, dan…, hlm. 171. 
  19. Ibid, hlm. 171. 
  20. Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan Islam, terj. hlm. 23. 
  21. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, hlm. 42. 
  22. Ibid, hlm. 45. 
  23. Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, Terj. Saifullah Mahyuddin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), hlm.125. 
  24. Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran,Sejarah,Analisis Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1983),hlm.102. 
  25. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, hlm. 43-44. 
  26. Ali Ashraf, Horison Baru Pendidikan…,, hlm. 2. 
  27. Usman Abu Bakar, 1999, Pendidikan Politik Islam sebuah Prospektus Menuju Masyarakat Madani, Dinamika, Journal Of Islamic Studies, STAIN, Surakarta, hlm. 9-13. 
  28. A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, , hlm. 24-25. 
  29. Ibid, hlm. 45. 
  30. Ibid, hlm. 48.